Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kematian tragis Dretarasta, Kunti, Gandari, dan Widura

Serial Mahabharata telah berakhir dengan menyisakan rasa duka, sedih, dan bahagia atas kemenangan para Pandawa di medan Bharatayuddha. 

Prabu Dretrarasta dan Ratu Gandari pun harus menerima nasib nahas ditinggal mati oleh seratus orang anaknya, dan menyerahkan tahta kerajaan Hastinapura untuk Yudhistira.
 

Kisah Mahabharata sebenarnya masih panjang. Namun serialnya telah berakhir sejak Agustus 2014 lalu, dan agar tidak membuat anda penasaran, berikut bagaimana sebenarnya lanjutan kisah Mahabharata tentang kematian Dretarasta, Kunti, Gandari, dan WIdura.




Wiracarita Mahabharata yang terdapat dalam kitab dan kisah pewayangan Jawa, diceritakan mengenai bagaimana nasib Dretarasta, Gandari, dan Widura setelah tidak lagi memegang jabatan di Hastinapura, begitu juga dengan nasib Dewi Kunti ibunda para Pandawa yang kini memegang kendali atas pemerintahan Hastinapura. 

Setelah pertempuran di Kurukshetra berakhir dengan kemenangan para Pandawa, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, Drupadi, dengan diiringi oleh Krisna segera menghadap pada Prabu Dretarasta utuk memohon restu dan meminta maaf atas terjadinya perang yang tidak bisa dicegah itu. 


Sementara itu, Prabu Dretarasta masih berduka atas kematian seratus putranya, ia menyimpan dendam pada para Pandawa terutama Bima yang telah membunuh Duryodana, membelah dada Dursasana dan meminum darahnya, serta membunuh 88 putranya yang lain. 

Ketika para Pandawa menghadap Dretarasta untuk meminta restunya, ia pun memeluk mereka satu persatu, namun ketika tiba giliran Bima, muncul perasaaan dendam dan pikiran jahatnya. Ya, meski Dretarasta adalah seorang yang tidak bisa melihat (buta) namun ia memiliki kekuatan setara dengan seratus gajah!.


Pada saat itu, Dretarasta ingin menghancurkan Bima dengan memberikannya pelukan terakhir. Krisna menyadari hal itu, dan ketika Bima mulai mendekati sang Raja Hastinapura itu, Krisna pun menahan langkah Bima dan menukarnya dengan patung perunggu yang menyerupai Bima. Pada saat itu juga, Dretarasta memeluk dan menghancurkan patung perunggu tersebut hingga berkeping-keping.  

Meski punya rasa dendam, namun naluri Dretarasta sebagai paman mereka segera muncul, ia pun meminta maaf atas kekhilafan dan amarahnya. Namun Kemudian Krisna berkata bahwa Ia hanya membunuh rasa dendam dan amarahnya saja, bukan membunuh Bima. Betapa senangnya Dretarasta mendengar kabar bahwa ternyata Bima masih hidup, dengan segera ia pun memeluk dan memberi restu pada para Pandawa, dan turut serta dalam penobatan Yudhistira sebagai penerus dirinya. 



Meski telah dinobatkan menjadi Raja Hastinapura sekaligus juga memegang kendali atas Indraprastha, namun Raja Yudhistira masih tetap menunjukkan rasa hormatnya pada Dretarasta pamannya. Ia ingin agar sang paman tetap menjadi Raja Hastinapura. 


Namun sang paman menolak, menurutnya setelah semua yang terjadi, ia akan meninggalkan kehidupan duniawi dan akan meneruskan hidupnya dalam pertapaan untuk mensucikan dirinya, serta menebus segala dosa-dosanya. Tak hanya Dretarasta saja, tapi juga Gandari, Widura, Sanjaya, dan Kunti pun menyatakan hal yang sama dihadapan Yudhistira dan para Pandawa. 

Sebelumnya, Dretarasta sempat marah dan bertanya pada Krishna mengenai ia harus terlahir dalam keadaan buta, meski ia merupakan seorang pangeran yang sangat terhormat. Krishna pun memintanya untuk bermeditasi, dan dalam meditasinya itu Dretarasta menyadari bahwa yang menimpa pada dirinya dan anak-anaknya adalah sebuah hukum karma. 


Dretarasta sebenarnya merupakan reinkarnasi dari seorang raja tiran, yang pada suatu hari ketika sedang berjalan di sisi danau, ia melihat seekor burung angsa dikelilingi oleh ratusan ekor anak-anak angsa kecil. Tiba-tiba saja Raja itu mengambil induk angsa tersebut lalu membutakan kedua matanya, dan setelah itu ia membunuh keseratus ekor anak-anak angsa itu. Oleh karena itulah, dalam kelahirannya kembali, ia terlahir melalui Dretarasta yang buta dan semua anak-anaknya tewas dalam perang. 

Beberapa tahun kemudian tibalah waktunya bagi mereka untuk berpisah dengan duniawi, Dretarasta menganti pakaian kerajaannya dengan menggunakan pakaian dari kulit rusa, Kunti berpesan pada Yudhistira agar tidak mengabaikan Sadewa, begitu pun dengan Sanjaya dan Widura pun melepas semedinya dan bersiap untuk berangkat bersama mereka. Pasukan Hastinapura pun mengantarkan kepergian pembesar-pembesar mereka itu ke dalam hutan di sekitar  Himalaya.  


Sesampainya di tengh hutan, para prajurit membangunkan sebuah tempat pertapaan untuk mereka. Beberapa makanan pun dipersiapkan sebagai bekal mereka selama berada di sana, dan sejumlah prajurit ditempatkan untuk menjaga mereka. 


Dua tahun berlalu, pada satu hari setelah Dretarasta selesai melakukan upacara persembahan dengan api unggun, ia lupa memadamkan api tersebut. Api itu pun digunakan oleh para penjaganya untuk membakar hewan buruan, namun lagi-lagi mereka lupa untuk memadamkannya, akibatnya api tu semakin membesar dan terus membesar membakar apa-apa yang ada disekelilingnya. Mereka pun memberitahukan hal tersebut pada Sanjaya yang tengah melakukan semedi. Mengetahui hutan sekitarnya telah terbakar, Sanjaya segera menghadap Dretarasta, Kunti, Gandari, dan Widura lalu menyuruh mereka untuk menyelamatkan diri. 



Namun, Dretarasta menolak, dan berkata bahwa kalaupun ia selamat, tapi jika suatu saat dirinya meninggal maka ia akan tetap dibakar oleh api (dikremasi). Ia pun tetap berada di tempatnya, meski api telah membakar sebagian pertapaannya. Senasib dengan Dretarasta, Gandari, Kunti, dan Widura pun menolak menyelamatkan diri mereka dan memilih untuk mati terbakar. Dalam peristiwa tersebut, Dretarasta, Gandari, Kunti, dan Widura mati terbakar sedangkan Sanjaya berhasil menyelamatkan diri dari kepungan api. 



Baca juga perjalanan Pandawa Lima mencari kesucian sampai akhirnya mati satu persatu dalam perjalanannya ke Himalaya, begitu juga Krishna yang akhirnya harus menyaksikan kehancuran bangsa dan keluarganya sendiri setelah menerima kutukan Gandari.