Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terbenamnya situs Kerajaan Tembong Agung di Jatigede

Waduk Jatigede telah mulai digenangi dengan air dan itu artinya ribuan keluarga harus meninggalkan kampung halaman mereka. Namun dibalik itu semua, kawasan yang kini digenangi air tersebut ternyata memiliki sejarahnya tersendiri yang sangat erat kaitannya dengan Sumedang, karena di kawasan ini pernah berdiri sebuah kerajaan yaitu Kerajaan Tembong Agung.

asal usul waduk jatigede


Waduk Jatigede merupakan waduk terbesar ke-2 setelah Waduk Jatiluhur yang juga berada di Jawa Barat, dengan kapasitas air yang dihasilkan sebanyak 3,5 meter kubik/detik waduk ini bisa dijadikan irigasi area pertanian yang luasnya 90.000 hektar yang berada di Sumedang, Majalengka hingga Indramayu. 


Dalam sejarahnya, di kawasan yang kini mulai tergenangi ini ada sebuah kerajaan yang merupakan cikal-bakal dari Kerajaan Sumedanglarang, yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong=nampak, Agung=luhur). Kerajaan yang didirikan oleh Prabu Guru Haji Aji Putih (696-721 M) ini memiliki keterkaitan dengan Kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun (612 M). 


PAda masa terjadinya perebutan kekuasaan pada masa Sanjaya (723-732) dengan Purbasora yang kemudian dimenangkan oleh Sanjaya, Ki Balangantrang berhasil melarikan diri dari kepungan para Pasukan Sunda pada malam dibinasakannya Purbasora oleh Sanjaya. Ki Balangantrang lalu menetap di Geger Sunten (sekarang Kampung Sodong, Desa Tambaksari, Kec Rancah, Ciamis). 


Bersama dengan para pengikutnya yang tersisa, Ki Balangantrang berupaya untuk menghimpun kekuatan untuk merebut kembail Galuh dari Sanjaya. Sebagai seorang patih yang kawakan dan cukup disegani apalagi juga Ki Balangantrang adalah cucuk dari Wretikandayun, tentu mudah baginya untuk mendapatkan dukungan dari orang-orang yang bersedia jadi pengikutnya. Apalagi Ki Balangantrang juga memiliki kesempatan untuk mendekati cicitnya yang bernama Manarah, dan dengan bantuan Manarah, Ki Balangantrang berhasil merebut Galuh kembali dalam sebuah Penyerangan yang berlangsung saat pihak kerajaan sedang mengadakan acara sabung ayam (panyawungan). 

Sebelum melakukan segala persiapan untuk menyerang Galuh itulah, putra dari Ki Balangantrang yaitu Guru Aji Putih mendirikan Kerajaan Tembong Agung di Sumedang. Setelah berhasil merebut Galuh, tahta kerajaan Tembong Agung kemudian diserahkan kepada Manarah, sedangkan Ki Balangantrang atau Aria Bimaraksa pun pensiun sebagai patih Galuh. 


Ki Balangantrang memiliki beberapa orang anak yang salah satunya adalah Guru Aji Putih yang lahir ke dunia sekitar tahun 675 M. Dalam kitab Waruga Jagat disebutkan bahwa Prabu Guru Aji Putih adalah putra dari Ratu Komara yang merupakan keturunan Baginda Syah, putra Nabi Nuh yang ke-10 dari permaisurinya yang kedua.  


Pada tahun 696 M, Prabu Guru AJi Putih pada awalnya hanya mendirikan sebuah padepokan di Citembong Agung Girang, Kecamatan Ganeas Sumedang yang kemudian pindah ke Kampung Muhara di Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja yang kemudian mendirikan Kerajaan Tembong Agung.


Prabu Guru Aji Putih memiliki empat orang putra dari hasil pernikahannya dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten), mereka adalah Batara Kusumah atau Batara Tuntang Buana yang dikenal dengan Prabu Tajimalela (lair sekitar 700 M), Sakawayana atau Aji Saka, Haris Darma dan Jagat Buana atau dikenal sebagai Langlang Buana.  


Kemunculan Kerajaan Tembong Agung di tanah Sunda mendapat perhatian dari banyak kerajaan lainnya. Keberadaan kerajaan ini mulai diperhitungkan apalagi Tembong Agung mendapat dukungan penuh dari Kerajaan Galuh, oleh sebab Dewi Nawang wulan sendir iadalah keponakan dari Prabu Purbasora dan juga kedudukan Aria Bimaraksa sebagai maha patih. Selain itu pengakuan dukungan juga diberikan oleh Demunawan penguasa Kerajaan Saung Galah yang merupakan putra dari Sempakwaja.

makam Prabu Tajimalela

Setelah menyerahkan Kerajaan Tembong Agung pada putranya Prabu Tajimalela, Prabu Guru Aji Putih kemudian memilih hidup menjadi Resi. Prabu Guru Aji Putih sendiri merupakan penganut agama Sunda Wiwitan yang mengakui bahwa Sang Pencipta itu tunggal. Penyebaran Agama Sunda kuna ini memang sudah ada sejak sebelum masa Hindu. Sunda Wiwitan bahkan sudah ada sebelum Dewarman memegang pucuk pemerintahan di Salakanagara (130-168). 

Dalam pantun Bogor, agama Sunda Wiwitan digambarkan menganut faham Monotheisme atau ajaran bahwa Tuhan itu Esa/satu. 


“Nya INYANA anu muhung di ayana, aya tanpa rupa aya tanpa waruga, hanteu kaambeu-ambeu acan, tapi wasa maha kawasa di sagala karep inyana”. 


Dalam Sahadat Pajajaran diterangkan bahwa inti agama Sunda ini hampir sama dengan kandungan Surat Al-Ikhlas. Agama Sunda mengajarkan pada penganutnya tentang proses kehidupan manusia sejak lahir, hidup, mati dan kemudian menitis lagi melalui reinkarnasi. Dalam hakekatnya, Sunda Wiwitan mengajarkan "Orang Sunda Kudu Nyunda". 


Dalam Babad Darmaraja dikisahkan bahwa setelah mengetahui ajaran agama yang baru yaitu Islam yang hampir mirip dengan ajaran agama Sunda, maka Prabu Guru Aji Putih kemudian memeluk Islam, dan berangkat ke tanah suci Makkah untuk memperdalam agama Islam, sehingga beliau lebih dikenal sebagai Prabu Guru Haji Ai Putih atau Haji Purwa Sumedang yang berarti  orang Sumedang pertama yang berangkat naik haji. 


Prabu Guru Haji Aji Putih telah menciptakan beberapa karya sastra yang bernafaskan Islam, salah satunya adalah Ilmu Kacipakuan. "Sir Budi Cipta Rasa, Sir Rasa Papan Raga, Dzat Marifat Wujud Kula, Maring Purbawisesa, Terahwisesa, Ratu Galuh….." ( Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati nurani, Cahaya Hati / Nurani….).


Setelah wafat, beliau kemudian dimakamkan di Situs Astana Cipeueut yang terletak di Kampung Cipeueut, Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Sumedang. Makamnya berada tidak jauh dari Makam sang ayah Sanghyang Resi Agung dan istrinya Dewi Nawang Wulan.


Oleh karena fakta sejarah yang ada di kawasan yang kini digenangi oleh Waduk Jatigede, maka akan sangat bijak jika Pemerintah lebih menggunakan nama Tembong Agung sebagai nama waduknya daripada nama Jatigede itu sendiri.