Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah kesaktian dan 'jimat' Jenderal Soedirman

Kisah kesaktian dan 'jimat' Jenderal Soedirman - Indonesia patut berbangga pernah memiliki sosok Jenderal besar yang sangat rendah hati seperti Raden Soedirman yang lebih dikenal dengan nama Jenderal Soedirman. Sampai sekarang, sepertinya tidak ada sosok yang mampu menggantikan kebesaran dan kharismanya. Selain pandai menyusun siasat dan strategi gerilyanya, Jenderal Soedirman dianggap mempunyai kesaktian dan 'jimatnya' sendiri. Apa sajakah itu?  

Kisah kesaktian dan 'jimat' Jenderal Soedirman
Jenderal Soedirman dengan nama asli Raden Soedirman

Kisah kesaktian Jenderal Soedirman 


Jenderal kharismatik Raden Soedirman terkenal memiliki firasat dan perhitungan yang jitu pada masa perang gerilya. Bahkan selama masa perang kemerdekaan, sang Jenderal tak pernah sekalipun tertangkap oleh musuhnya, walaupun saat itu ia dianggap seabgai 'tokoh yang paling dicari-cari' oleh pihak musuh untuk dihabisi karena terlalu banyak merugikan.


Kisah kesaktian sang Jenderal itu pun diungkapkan oleh anak bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman. Dikutip dari indospiritual, Teguh yang lahir pada tahun 1949 ketika ibunya tengah bersembunyi di Keraton Yogyakarta pada saat ayahnya bergerilya itu menceritakan bahwa ia banyak mendengar ayahnya yang dianggap mempunyai firasat dan kesaktian. 


Ia menuturkan bahwa sesampainya Jenderal Soedirman dan pasukannya di Gunungkidul, sang jenderal tidak mengizinkan pasukannya untuk beristirahat lama-lama dan harus segera berangkat saat itu juga. Benar saja .. tidak lama kemudian pasukan Belanda tiba di lokasi tersebut dan tidak menemukan keberadaan sang Jenderal. Padahal saat itu, Jenderal Soedirman sedang dalam keadaan sakit dengan tubuh yang rapuh sehingga harus ditandu anak buahnya. Kalau saja ia tidak meminta pasukannya untuk segera menyingkir dari tempat itu, sudah bisa dipastikan akan terjadi pertempuran yang berakibat pada kekalahan atau ditangkapnya sang Jenderal. 


tandu-jenderal-soedirman

Semasa perang gerilya, Jenderal Soedirman selalu menyamar, bahkan beliau pun kerap dimintai bantuannya untuk mengobati orang yang sakit. Ketika sang Jenderal dan pasukannya telah sampai di sebuah desa di wilayah Pacitan, mereka benar-benar dalam kondisi yang sangat lelah dan kelaparan karena tidak menemukan makanan selama berada di hutan berhari-hari. Mereka sebenarnya ingin meminta makanan pada warga desa, namun takut ada mata-mata musuh. 

Pada waktu rombongan tersebut tengah beristirahat, tiba-tiba seorang penduduk menghampiri dan meminta air mantra untuk kesembuhan istri lurah desa tersebut.
 

Beliau pun segera mengambil air dari sebuah sumur, lalu membacakannya dengan doa. Ajaibnya, setelah meminum air yang telah dibacakan doa oleh Jenderal Soedirman itu, istri lurah yang tengah terbaring lantaran sakit parah itu terbangun. Betapa senangnya pak lurah menyaksikan kondisi istrinya itu, ia pun menyilakan Jenderal Soedirman dan anak buahnya untuk beristirahat sambil menjamunya dengan aneka macam makanan.  Baru setelah itu, sang Jenderal memperkenalkan dirinya yang disambut oleh Pak Lurah dengan rasa terkejut dan 'bungah'. 

Kisah kesaktian Jenderal Soedirman yang lainnya pada bulan Januari 1949. Suatu hari penduduk Desa Bajulan dikagetkan oleh suara desingan pesawat yang terbang rendah di atas desa mereka. Sontak para penduduk pun langsung panik, mereka yang berada di halaman, sawah, dan jalanan itu segera berlarian panik mencari perlindungan di dalam rumah atau bersembunyi di balik pepohonan. 


Mereka tahu betul bahwa pesawat terbang itu adalah pesawat milik militer Belanda yang ditugasi mencari para gerilyawan dan sewaktu-waktu bisa memuntahkan peluru dan bom penghancurnya. Pada saat itu, Jirah seorang perempuan usia 16 tahun bersembunyi di sudut dapur rumahnya sambil gemetaran membayangkan kalau gubuknya dihujani oleh peluru. 


Jirah tidak sendirian karena di rumahnya saat itu sedang kehadiran sembilan orang lelaki yang merupakan tamu dari ayah angkatnya, Pak Kedah yang selama ini ia layani makan dan minumnya. Walau tidak bisa menduga-duga siapa sebenarnya kesembilan orang itu, namun Jirah yakin bahwa mereka itulah yang sedang dicari-cari oleh pihak musuh. Saat pesawat itu semakin mendekat, Jirah melihat seorang yang mengenakan beskap duduk di depan pintu dikelilingi oleh sembilan orang lainnya. 


Lelaki yang memakai beskap itu dipanggil dengan nama 'Kiaine" atau Pak Kiai, dan ia segera mengeluarkan sebuah keris yang terselip di pingganya. Keris itu pun ia taruh di depannya, tangannya merapat dan mulutnya komat-kamit merapal doa. Ajaib, keris itu tiba-tiba berdiri dengan ujung lancip menghadap ke langit-langit. Semakin suara pesawat itu mendekat, semakin kencang doa-doa mereka. 


Mendadak keris itu memiring lalu jatuh setelah bunyi pesawat mulai menjauh. Kaine lalu menyarungkan kembali keris itu sementara yang lainnya diminta untuk undur diri dari ruang tamu. Kepada Jirah, salah seorang pengawal Kiaine bercerita bahwa Keris dan Doa-doa itu telah menyamarkan rumah dan kampung tersebut dari penglihatan musuh. Dari curi dengar apa yang diobrolkan para tetamunya itu, Jirah samar-samar tahu kalau orang yang dipanggil Kianie yang berperawakan tinggi, kurus dan pendiam itu adalah Jenderal Soedirman. Kisah ini diceritakan oleh Jirah pada salah satu media beberapa tahun yang lalu.  



Pada saat itu Panglima Besar Jenderal Soedirman memang tengah melancarkan perang gerilya terhadap Belanda yang datang kembali untuk agresi militer II atau menginvasi kembali tanah jajahan yang dahulu pernah diserahkan dengan terpaksa kepada Jepang. Pasukan Jenderal Soedirman yang terdiri dari 77 orang itu datang ke Desa Bajulan pada hari Jumat Kliwon di bulan Januari 1949. Di rumahnya itu, Jirah mengungkapkan bahwa sang Jengderal datang bersama delapan orang lainnya yang di antaranya adalah Dr Moestopo, Tjokropanolo, dan Soepardjo Roestam.  


Selama lima hari berada di Bajulan, tidak ada satupun tentara Belanda yang menjatuhkan bom atau menembaki mereka dan para penduduk. Kebanyakan hanya 'numpang lewat' saja.  "Itu berkat keris dan doa-doa", kata Jirah.
Cerita lain menyebutkan bahwa Jenderal Soedirman memiliki sebuah keris kecil yang dinamakannya keris cudrik. Teguh kembali bercerita bahwa pada waktu sang ayah dan pasukannya terpojok di sebuah lereng di Gunung Wilis, Tulungagung keris tersebut membantu menyelamatkan pasukannya. 


Saat itu, Jenderal Soedirman tiba-tiba mencabut keris yang merupakan pemberian seorang kiai di Pacitan dan mengarahkannya ke langit. Tidak berapa lama, awan hitam mulai bergulung-gulung sambil mengeluarkan petir dan angin yang bergemuruh. Seketika itu juga, hujan lebat pun turun dan membuyarkan konsentrasi pasukan musuh saat pengepungan, dan lagi-lagi pasukan Soedirman bisa berhasil menyelamatkan diri.


Keris cudrik itu sempat beliau tinggalkan di rumah penduduk. Beberapa tahun setelah wafatnya Jenderal Soedirman pada tahun 1950. Panglima Kodam V Brawijaya Kolonel Sarbini datang ke rumahnya di Kota baru, Yogyakarta, saat itu ia bersama seorang petani. 


Menurut Teguh, Sarbini pernah bercerita pada ibunya, Siti Alfiah bahwa petani itu hendak mengembalikan keris cudrik yang pernah dititipkan oleh Jenderal Soedirman saat akan pergi bergerilya. Kini, keberadaan keris cudrik itu bisa dilihat di Museum Soedirman di Bintaran Timur, Yogyakata. 


Kisah 'Jimat' Jenderal Soedirman 

 Selain dipercaya memiliki kesaktian, Jenderal Soedirman juga dianggap memiliki beberapa 'jimat' yang sangat khusus. Dari sekian banyak tokoh Republik dan pejuang yang pernah ditangkapi oleh Belanda, hanya Jenderal Soedirman saja yang sama sekali tidak pernah merasakan intimidasi atau tertangkap dan ditahan oleh musuh, baik dari pihak Sekutu maupun Belanda. Ternyata semua itu merupakan berkah dari jimat yang dimiliki sang Jenderal. 

Mengenai jimat ini, sahabat Jenderal Soedirman di antaranya Roestam dan yang lain yang turut memanggul sang Panglima Besar ini pernah bertanya pada beliau mengenai jimat apa yang dipakai Mas Kyai ini sehingga bisa selalu lolos dan tidak pernah tertangkap oleh Belanda. Lalu dengan senyum kecil, Jenderal Soedirman menjawab, "Iya, saya memang pakai jimat, jimat yang pertama adalah selalu berperang dalam keadaan wudhu, kemudian yang kedua jimat saya adalah sholat diawal waktu, dan jimat yang ketiga aku mencintai rakyatku dengan sepenuh hati," 





Itulah jimat-jimat yang selama ini selalu dikenakan dan dimiliki oleh Jenderal Soedirman ketika melakukan perang gerilya. Sewaktu melancarkan serangannya, sang Jenderal selalu berada dalam keadaan suci (berwudhu), dan walau berada dalam kondisi apapun sang Jenderal selalu menyempatkan diri untuk beribadah sholat. Kecintaaan sang Jenderal pada rakyatnya diungkapkan dengan mendoakan, mengobati, atau membagi-bagikan perbekalan makanan yang ia dan rombongannya bawa untuk rakyat yang ditemuinya selama perjalanan. 

Jenderal Soedirman lahir di Purbalingga tanggal 24 Januari 1916 dengan nama Raden Soedirman. Beliau wafat dalam usia 34 tahun pada tanggal 29 Januari 1950 di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki. 

Jenazah Jenderal Soedirman ( 29 Januari 1950 )

Itulah Sosok sebenarnya dari Jenderal Soedirman, tokoh besar Bangsa yang berjiwa besar namun tidak pernah sekalipun mementingkan diri sendiri atau kelompoknya. Kapan lagi, kita bisa memiliki sosok seperti itu. 


 

Semoga bermanfaat