Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah runtuhnya Kesultanan Ottoman

Serial Abad Kejayaan yang ditayangkan di salah satu televisi swasta telah menarik minat kita untuk menyusuri sejarah kekaisaran yang sangat berpengaruh pada masanya itu. Selama berabad-abad, kekaisaran Ottoman telah menjadi sebuah kerajaan yang paling disegani dan ditakuti di seluruh dunia. Namun, kita tidak akan lagi bisa melihat kekuasaan Ottoman di masa kini, karena negara monarki ini telah runtuh dan menjadi Republik Turki. 

Sejarah runtuhnya Kesultanan Ottoman


Kekuasaan kaisar pemimpin dunia dan kehebatan para Janisari itu kini hanya bisa kita baca melalui buku-buku sejarah. Selama berpuluh-puluh tahun kekuasaannya, kekaisaran ini perlahan namun pasti mengalami kemunduran. Sepeninggal Suleiman The Magnificent, kesultanan ini seolah kehilangan sosok yang berwibawa yang dipercaya para Janisari dan rakyat karena ketegasannya. Sejak saat itu, kesultanan Ottoman seolah menghadapi masa-masa suramnya.

Bergantinya Kesultanan Ottoman menjadi Republik Turki adalah efek dari semakin merosotnya kekuatan Ottoman selama berabad-abad. Diawali dengan terhentinya ekspansi kekuasaan Ottoman sampai kepada lepasnya wilayah-wilayah yang selama ini berada dalam kekuasaan Ottoman. Pada akhirnya kekaisaran yang pernah berjaya ini hanya menjadi pesakitan pada masa Perang Dunia I.
 

Keterpurukan Ottoman tersebut mendorong kelompok nasionalis sekuler untuk mengangkat senjata dan mulai memerangi negara yang menduduki wilayah Ottoman. Setelah berhasil mengalahkan negara-negara itu, mereka pun mulai mengubah sistem pemerintahan, dari yang awalnya berbantuk kesultanan menjadi republik. 

Sejak runtuhnya Ottoman yang dilanjut dengan berdirinya negara republik Turki, kecaman dan simpati datang dari masyarakat di luar Turki. Kecaman muncul dari golongan Muslim konservatif karena setelah perubahan tersebut, Turki tak lagi menjadi negara Islam, selain itu kecaman juga datang dari orang-orang di luar etnis Turki lantaran pemerintah Turki yang cenderung mengabaikan hak-hak dari etnis minoritas yang ada di Turki, salah satunya etnis Kurdi. Sedangkan simpati datang dari golongan liberal dan sekuler yang menganggap kelompok nasionalis Turki telah berhasil membangkitkan negaranya dari keterbelakangan di Eropa sehingga menjadi salah satu kekuatan regional. 


Latar Belakang keruntuhan Ottoman 


Pada masa jayanya, Ottoman menjadi salah satu negara terkuat dan terbesar di dunia. Wilayah kekuasaanya meliputi hampir sebagian besar benua Eropa, Asia dan Afrika. Namun secara berangsur-angsur kedigdayaan kekaisaran Ottoman mulai terkikis oleh beragam faktor, di antaranya adalah sektor industri dan militer yang telat mengalami modernisasi. 


Latar Belakang keruntuhan Ottoman


Secara bertahap wilayah yang dahulu berada dalam kekuasaannya dicaplok oleh negara lain atau melepaskan diri, akibatnya banyak muncul sentimen nasionalisme dan separatisme dari bagian wilayah yang tersisa. Semakin terpuruknya kekuatan Ottoman membuat negara ini sempat dijuluki dengan 'Orang Sakit di Eropa' atau 'Sick Man of Europe'. 

Pada bulan Juli 1914, putra mahkota dari Austria-Hongaria tewas ditembak oleh Gacrilo Princip, anggota kelompok ekstrimis Serbia yang bernama Crna Ruka. Akibat peristiwa tersebut , Austria-Hongaria lalu menyatakan perang kepada Serbia. Rusia yang saat itu merupakan sekutu dari Serbia kemudian ganti menyatakan perang terhadap Austria-Hongaria.  Ibarat barisan domino yang jatuh secara beruntun, negara-negara di Eropa lainnya turut melibatkan diri dengan menyatakan dukungan dan perangnya. Sejak saat itu, Perang Dunia I dimulai. Ottoman yang masih memiliki perjanjian militer rahasia dengan Jerman, enggan untuk ikut andil dalam perang tersebut lantaran merasa tidak siap. 


Perang Dunia 1


3 bulan pun berlalu, negara-negara yang menjadi musuh Jerman pada akhirnya menyatakan perang kepada Ottoman oleh karena Ottoman saat itu mau menerima kehadiran Kapal Perang Jerman di perairannya. Pada awalnya, Ottoman sanggup menghadapi Sekutu yang terdiri dari Inggris Perancis dan Rusia. Namun seiring berjalannya waktu, Ottoman mulai alami kepayahan, ditambah lagi dengan orang-orang Arab yang ada di wilayahnya melakukan pemberontakan.  Untuk menghindari kehancuran yang lebih parah lagi, pada tahun 1918 Ottoman mengibarkan bendera putih tanda menyerah. 


Pada tahun 1920, sebuah perundingan damai dilakukan di Swiss. Hasil perundingan tersebut antara lain menyebutkan bahwa Ottoman harus menyerahkan sebagian besar wilayahnya ke negara-negara pemenang perang. Bagi-bagi kue pun dimulai oleh Sekutu, Inggris mendapatkan jatah Afrika Utara, Transjordan dan pesisir selatan Jazirah Arab, sedangkan Perancis mendapatkan daerah Syam, Armenia mendapat hadiah Anatolia timur, dan Yunani dipersilahkan menempatkan pasukannya di Thracia timur dan Anatolia barat. Sedangkan wilayah Asia Barat dibiarkan berkembang menjadi negara-negara baru. Perjanjian itu juga menyilahkan para negara-negara Sekutu untuk menempatkan pasukannya di Konstantinopel atau Istanbul.


Bagi golongan nasionalis Turki, perjanjian Sevres itu dianggap sebagai penghinaan karena menginjak-injak harga diri bangsa Turki. Mereka juga mengkritik Sultan Ottoman yang berkuasa pada masa itu karena membiarkan negara-negara Sekutu (Etente) menempatkan pasukannya di wilayah Ottoman. Pada waktu gerak-gerik mereka dianggap membahayakan dan bisa merugikan kepentingan Sekutu. Inggris dibantu oleh aparat Ottoman lantas membubarkan parlemen dan melakukan razia dalam skala besar-besaran. Alhasil, golongan nasionalis Turki berkesimpulan bahwa mereka harus berjuang dengan senjata untuk mengakhiri invasi Sekutu di tanah mereka. 


Peristiwa perang kemerdekaan di Turki 


Pada bulan Maret 1920, kelompok nasionalis Turki mulai mendirikan pemerintahan tandingan di Ankara, Anatolia tenah sebagai bentuk protes atas Traktat Sevres dan terlalu patuhnya Kesultanan Ottoman pada negara-negara Sekutu. 


Traktat Sevres
Traktat Sevres


Pemerintah tandingan Ottomanyang dikenal dengan Dewan Nasional Turki dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha. Dengan memanfaatkan sisa-sisa persenjataan militer Ottoman dan pengalaman dari para milisi nasionalis sewaktu menjadi Janisari Ottoman. Pasukan nasionalis Turki mulai melancarkan perang kemerdekaan yang dibagi dalam tiga front yaitu front barat (melawan Yunani), front selatan (melawan Perancis) dan front timur (melawan Armenia). 

19 September 1922, tentara pendudukan berhasil dikalahkan, dan pada tanggal 1 November 1922, Dewan Nasionalis Turki di Ankara mulai mengumumkan pembubaran kesultanan Ottoman dengan menyatakan bahwa meraka adalah pemerintahan resmi yang berdaulat dan mengganti sistem pemerintahan dari Kesultanan menjadi negara Republik . Menerima putusan tersebut, Sultan Ottoman saat itu, Sultan Mehmed VI menumpang kapal perang Inggris dan menetap di luar Turki sampai akhir hayatnya. 


Tanggal 29 Oktober 1922, Dewan Nasionalis Turki kembali mendeklarasikan berdirinya Republik Turki atau Turkiy Cumhuriyeti sebagai sebuah negara yang akan meneruskan pemerintahan kesultanan Ottoman. Pendirian negara republik ini juga sekaligus mereformasi di banyak bidang. 


Mustafa Kemal


Bahasa dan tulisan latin Turki mulai ditetapkan sebagai bahasa resmi menggantikan tulisan Arab. Mustafa Kemal kemudian ditetapkan sebagai bapak bangsa yang bergelar 'Ataturk'. Sedangkan para penduduknya dianjurkan untuk mengenakan pakaian yang mirip dengan pakaian yang lazim dikenakan masyarakat barat. Bahkan sampai akhir tahun 1950, azan-azan di masjid yang ada di seluruh Turki diwajibkan untuk memakai bahasa Turki. 


Reformasi agama dan bahasa ini pada faktanya ternyata mampu memberikan sumbangan yang berharga bagi perkembangan linguistik bahasa Turki pada saat ini.  Selain itu, pemerintahan Kemal itu pun mengharuskan penggunaan nama keluarga bagi setiap orang Turki dan melarang penggunaan gelar-gelar yang lazim digunakan pada masa pemerintahan kesultanan Ottoman. Bahkan sistem kalender yang sebelumnya menggunakan kalender Hijriah diganti menjadi kalender Masehi dan mengganti hari libur yang tadinya hari jumat menjadi hari Minggu sesuai kalender di Eropa. Pemerintahan Kemal tampaknya ingin menjadikan Turki menjadi seperti negara-negara di Eropa. Bagi Kemal, orang-orang Turki tidak saja harus memiliki pikiran rasional seperti orang-orang Eropa tapi juga harus meniru tatacara dan perilaku mereka.


Peralihan kekuasaan dan pemerintahan dari kesultanan menjadi negara republik ternyata tidak bisa diterima oleh sebagian rakyatnya. Pada bulan Maret 1925, muncul pemberontakan yang dilakukan oleh Syeikh Said, namun usaha itu berhasil ditumpas. Satu tahun kemudian aparat berwenang Turki melakukan penangkapan dan eksekusi masal terkait beredarnya kabar akan rencana pembunuhan terhadap Kemal. 


Selain masalah sekulerisasi, kediktatoran Kemal juga dikritik oleh rakyatnya terlebih hingga tahun 1945, Turki hanya menganut sistem politik satu partai yaitu Partai Rakyat Republikan (Cumhuriyet Halk Partisi) sebagai satu-satunya partai yang memonopoli pemerintahan.


10 November 1938, Mustafa kemal meninggal dunia setelah tiga kali menjabat sebagai Presiden Republik Turki (1927, 1931, 1935). Sekulerisasi agama pada masa pemerintahan Kemal pada faktanya hanya melahirkan generasi Turki yang jauh dari agamanya. Sampai akhirnya dalam pemilu tahun 1950, masa-masa kejayaan Partai Republik Rakyat berakhir, partai sekuler lain beraliran liberal yaitu Partai Demokrat berhasil mengambil hati rakyat dan memenangkan pemilu. Adnan Menderes yang menjadi pimpinan kemudian melakukan beberapa perubahan besar yang selama ini diterapkan semasa pemerintahan Kemal. 


Mayoritas masyarakat muslim di negara tersebut pada akhirnya bisa bebas beribadah  dan melakukan shalat di masjid-masjid umum, berpuasa dan melakukan ibadah haji yang pada masa pemerintaha Kemal sangat sulit dilakukan. 


Selain itu, madrasah-madrasah yang ditutup kembali dibuka. Masa-masa suram yang 'keeropa-eropaan' itu perlahan mulai berganti. Generasi-generasi muda kini lebih diutamakan untuk mempelajari tata-krama dan pendidikan agama. Turki telah berkembang menjadi sebuah negara yang lebih demokratis.

Jangan lewatkan : 


Ottoman: Kisah Drakula pemimpin yang haus darah