Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bung Karno dan Ahmadiyah

Perkembangan politik di Indonesia sejak masa kepemimpinan Presiden Sukarno tidak lepas dari "pencitraan", terlebih lagi sosok Bung Karno yang dianggap memiliki nilai jual yang tinggi, sehingga banyak orang dan golongan dengan tanpa segan menyebut Bung Karno menjadi pengikut aliran atau golongan yang mereka pimpin. 

Bung Karno dan Ahmadiyah


Salah satu kabar yang pernah membuat heboh adalah kabar yang menyebutkan bahwa Bung Karno adalah pengikut aliran Ahmadiyah. Kabar tersebut berhembus pada tahun 1935, ketika Bung Karno dalam pembuangannya di Endeh.

Entah untuk tujuan diskredit atau untuk mencari dukungan, Bung Karno pernah dikabarkan sebagai pendiri Ahmadiyah dan propagandis Ahmadiyah di bagian Celebes (Sulawesi). Kabar tersebut jika didengar oleh orang yang anti -Sukarno tentu bisa menjadi alat untuk mendiskreditkannya, sedangkan bagi penganut aliran tersebut, kabar itu bisa menjadi alat propaganda yang luar biasa. 


Bung Karno mendengar kabar tersebut dari kawannya yang baru datang dari Bandung. Ia mengabarkan kalau suratkabar Pemandangan telah memasang entrefilet atau semacam maklumat yang menyebut Bung Karno telah mendirikan cabang Ahmadiyah sekaligus menjadi propagandis Ahmadiyah di bagian Celebes (Sulawesi). 


Saat kabar itu diterima, suratkabar Pemandangan yang memuat tulisan tersebut memang belum sampai ke Endeh. Tapi Bung Karno percaya pada kawannya itu, sehingga ia pun berpesan kepadanya untuk segera melakukan counter, bahkan untuk menepis isu tersebut Bung Karno menulis sebuah tulisan yang berjudul "Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad Adalah Nabi" pada tanggal 25 November 1935. 


Dalam artikelnya tersebut, Bung Karno menulis bantahannya, “Saya bukan anggota Ahmadiah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiah atau menjadi propagandisnya. Apalagi buat bagian Celebes! Sedang pelesir ke sebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endeh, saya tidak boleh! Di Endeh memang saya lebih memperhatikan urusan agama daripada dulu. Di samping saya punja studi sociale wetenschappen, rajin jugalah saya membaca buku-buku agama. Tapi saya punya ke-Islam-an tidaklah terikat oleh sesuatu golongan. Dari Persatuan Islam Bandung saya banyak mendapat penerangan; terutama personnya tuan A. Hassan sangat membantu penerangan bagi saya itu.”


Bung Karno menengarai kabar tersebut sengaja dihembuskan oleh Dinas Rahasia Kolonial atau PID (Politieke Inlichtingen Dienst) untuk tujuan mendiskreditkannya, dan juga karena intensitasnya mempelajari agama Islam selama berada di Endeh. 


Untuk memperdalam ilmu agamanya Bung Karno melakukan surat menyurat dengan H. Hassan, seorang ulama dari Persatuan Islam yang tinggal di Bandung. Hingga kini, surat-surat antara Bung Karno dan H. Hassan menjadi kajian yang cukup menarik bagi para pemerhati Islam. 


Dalam bantahannya itu, Bung Karno menolak disebut sebagai pengikut Ahmadiyah, dan lebih suka disebut sebagai pengikut Islam yang tidak terikat satu golongan apa pun. Kendati demikian, dalam salah satu suratnya, Bung Karno menyatakan kekagumannya akan beberapa hal yang terdapat dalam ajaran Ahmadiyah, “Mengenai Ahmadiah, walaupun beberapa pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada mereka punya features yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur’an saja dulu, mereka punya systematische aannemelijk maken van den Islam. Oleh karena itu, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka punya ‘pengeramatan’ kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kecintaan kepada imperialisme Inggris, toh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel, modern, broadminded dan logis itu.”


Bung Karno lebih memilih untuk menempatkan dirinya dalam posisi yang relatif netral terhadap Ahmadiyah, walaupun ada beberapa soal dalam ajaran Ahmadiyah yang ia terima sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang rasionil, tapi ada juga yang beliau tolak mentah-mentah terutama mengenai "pengeramatan" yang terlalu berlebihan pada Mirza Gulam Ahmad. Hubungan yang terbangun antara Bung Karno dengan Ahmadiyah tampak dari sebuah foto yang menggambarkan bagaimana santainya Bung Karno berbicara dengan dua tokoh Ahmadiyah, Said Syah Muhammad dan Hafiz Quadratullah saat resepsi perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-5 tahun 1950. 


Sejarah Ahmadiyah di Indonesia 


Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia tidak terlepas dari peran tiga pemuda Sumatera Thawalib - sekolah Islam modern pertama di Indonesia - yang merantau ke India. Seperti dikutip dari laman resmi Ahmadiyah, www.alislam.org, ketiga pemuda tersebut adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan. Kedatangan mereka kemudian disusul oleh 20 pemuda Thawali lainnya untuk bergabung dengan jamaah Ahmadiyah. 


Pada tahun 1925, Ahmadiyah mengirim Rahmat Ali ke Hindia Belanda, dan di tahun 1926 Ahmadiyah mulai diresmikan menjadi organisasi keagamaan di Padang. Sejak itulah mereka mulai memperluas pengaruhnya di Indonesia.
 

Kontroversi keberadaan Ahmadiyah di Indonesia tidak selalu harus berakhir dengan kekerasan, perbaedaan pendapat dan penafsiran itu pernah dibawah ke meja dialog yang sangat intelek. Pada tanggal 28-29 September 1933 beberapa organisasi Islam di Indonesia menyelenggarakan debat terbuka untuk membahas Ahmadiyah, ada sekitar 10 organisasi yang hadir saat itu, di antaranya adalah Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Ulama dan Al-Irsyad. 

Perdebatan yang dilangsungkan di sebuah gedung pertemuan di Gang Kenari, Salemba itu cukup menarik minat masyarakat, sehingga gedung itu pun disesaki oleh lebih dari 1800 orang yang sangat antusias ingin meyaksikannya. Bahkan sejumlah surat kabar kenamaan seperti Sipatahunan, Sin Po, Pemandangan dan Bintang Timur pun turut meliput jalannya perdebatan. Sementara dari pihak Pemerintah Belanda diwakili oleh Dr Pijper yang kelak beliau ini menjadi ahli Islam. 

Debat itu menampilkan wakil Ahmadiyah, Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub yang berhadapan dengan Ahmad Hassan, seorang pendiri Persis. Untuk moderatornya ditunjuk Ahmad Sarido dari komite Munazarah. Sebelum acara debat dimulai, sang moderator terlebih dahulu memberikan pengumuman peraturan kepada para penonton agar tidak bersorak-sorai, menghujat, meneriakkan kebencian dan menyindir para pembicara. 


Kedua panelis melakukan argumennya masing-masing, meski begitu acara debat yang berlangsung selama dua malam itu berjalan tanpa kegaduhan penonton. Walaupun para panelis berkeras pada pendiriannya masing-masing namun tidak ada yang memaksa untuk mengubah pendapat dan keyakinanya masing-masing sehingga acara debat itu berakhir dengan damai. 



Sumber: 
Historia.id
Penasoekarno.wordpress.com