Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menguak mitos Nyai Roro Kidul

Bagi penduduk di Jawa dan Bali, Nyi Roro Kidul merupakan sosok dewi legendaris yang dikenal sebagai Ratu Laut Selatan (disebut juga Ratu Pantai Selatan). Selain itu Nyai Roro Kidul juga dikenal dalam beberapa nama dengan kisah-kisah berbeda yang mencerminkan asal-usul, legenda, mitologi dan cerita turun-temurun. 


Menguak mitos Nyai Roro Kidul

Dalam legenda masyarakat Sunda, Nyai Roro Kidul disebut dengan Nyi Rara Kidul. Cerita mengenai keberadaan Ratu penjaga Laut Selatan ini sudah ada sejak jaman Kerajaan Pajajaran yang artinya lebih tua dari cerita yang berasal dari Kerajaan Mataram pada abad ke-16. 


Ada banyak versi yang menyebutkan asal-usul Nyai Roro Kidul. Robert Wessing dalam tulisannya yang berjudul "A Princess form Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul," Asian Folklore Studies Volume 56 tahun 1997, menyatakan bahwa Nyai Roro Kidul adalah seorang putri yang berasal dari Kerajaan Sunda Galuh, sekitar abad ke-13. Namun versi lain menyebutkan kalau Ratu Kidul ini adalah keturunan dari penguasa Pajajaran, dan keturunan Raja Airlangga dari Kahuripan, bahkan ada yang mengaitkannya dengan Raja Kediri Jayabaya. 


Legenda dari tanah Sunda menyebutkan bahwa Nyi Rara Kidul merupakan jelmaan Dewi Kadita, seorang putri cantik dari Keraaan Sunda Pajajaran yang melarikan diri ke laut selatan setelah diguna-gunai oleh seorang dukun atas perintah saingannya di istana. 


Akibat guna-guna tersebut , sang putri menderita penyakit kulit yang menjijikkan. Merasa putus asa dengan kondisinya, putri itu pun kemudian melompat ke lautan yang berombak ganas namun ajaibnya ia justru sembuh dari penyakitnya dan kembali dengan parasnya yang cantik. Oleh para lelembut Dewi Kadita kemudian diangkat menjadi penguasa lelembut di laut selatan. 

Dalam versi lain yang berasal dari tanah Sunda adalah kisah tentang kesedihan Prabu Munding Wangi yang bersedih lantaran tidak memiliki anak lelaki yang akan menggantikannya menjadi raja. Prabu Munding Wangi hanya memiliki satu-satunya anak perempuan yang bernama Dewi Kadita yang berparas cantik. Karena kecantikannya itu, Dewi Kadita dijuluki Dewi Srêngéngé atau "Dewi Matahari". 


Sang Raja kemudian menikahi Dewi Mutiara dan memiliki anak lelaki dari pernikahannya tersebut. Dewi Mutiara sangat berambisi agar anaknya itu kelak menjadi raja menggantikan ayahnya, dan ia pun berusaha menyingkirkan Dewi Kadita yang dianggap bisa menggagalkan niatnya. 


Dewi Mutiara pun menyuruh Raja untuk meminta Dewi Kadita pergi dari Istana. Namun hal itu justru membuat sang Raja marah dan berkata bahwa dirinya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putrinya. 


Merasa tidak punya jalan lain untuk menyingkirkan Kadita, Dewi Mutiara kemudian menyuruh seorang tukang tenung untuk mengguna-gunai Kadita. Akibat guna-guna itu, sekujur tubuh Dewi Kadita dipenuhi oleh kudis dan bisul yang berbau busuk. Rasa gatalnya sangat menyakitkan yang bisa dilakukannya hanyalah menangis tidak tahu harus berbuat apa. 


Sang Raja yang mencoba mengobati penyakit putrinya itu pun tak bisa berbuat banyak, sudah banyak tabib yang berusaha menyembuhkan penyakit putrinya namun gagal. Dewi Mutiara kemudian kembali membujuk Raja agar menyuruh Kadita keluar dari Istana karena bisa membawa kesialan bagi seluruh negeri. Raja yang tidak ingin putrinya digunjingkan dan jadi bahan omongan di seluruh negeri kemudian menyetujui usulan ratunya itu. 


Dalam perjalanannya, Dewi Kadita tak henti-hentinya menangisi nasibnya, ia tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya, namun meminta agar Sanghyang Kersa bisa menjadi pendamping dalam menanggung penderitaannya.


Setelah tujuh hari tujuh malam, sampailah Dewi Kadita di Samudera Selatan. Air di samudera itu tampak jernih dan bersih, tidak seperti samudera lain yang berwarna biru atau hijau. Tiba-tiba ia mendengar suara gaib yang menyuruhnya untuk terjun ke Laut Selatan. Tanpa pikir panjang, Dewi Kadita segera melompat dan berenang di laut tersebut. Ajaibnya, setelah menceburkan dirinya ke dalam samudera, seluruh penyakit di tubuhnya berangsur-angsur hilang, ia malah jadi terlihat lebih cantik dari sebelumnya dengan wajah yang bersinar-sinar. 


Sejak saat itu, Dewi Kadita memiliki kuasa atas Samudera Selatan dan menjadi Dewi yang disebut Nyi Rara Kidul yang hidup abadi. Masyarakat Sunda sering mengait-ngaitkan Pantai Pelabuhan Ratu dengan legenda ini. 

Dalam cerita lain dikisahkan mengenai Ratu Ayu dari Galuh yang melahirkan seorang bayi perempuan. Namun ada keanehan tatkala bayi itu bisa bicara dan mengatakan bahwa ia adalah penguasa semua lelembut di tanah Jawa dan akan berdiam di Pantai Selatan. Bersamaan dengan itu, muncullah roh Raja Sindhula dari Galuh yang bersabda bahwa cucunya itu tidak akan memiliki seorang suami untuk menjaga kesuciannyaa dan kalaupun bersuami maka ia harus dikawini oleh Raja-raja Islam dari Jawa. 


Bayi perempuan yang kelak menjadi ratu penguasa Pantai Selatan itu pun menunggu suami hingga dua abad lamanya. Sampai suatu hari, Panembahan Senapati dari Mataram Islam (1585-1601) berkunjung ke Pantai Selatan untuk bersemedi memohon petunjuk untuk memenangkan peperangan melawan Sultan Pajang di Prambanan. 


Konon karena ketekunannya melakukan semedi itu membuat Pantai Laut Selatan bergolak dan membuat Istana Ratu Pantai Selatan porak poranda akibat kekuatan doa dari Panembahan Senapati. 


Ratu Kidul pun keluar dari istananya, dan muncul di permukaan laut. Ia tertegun menyaksikan seorang pemuda gagah yang tengah bersemedi. Ratu Kidul pun langsung jatuh hati dan bersimpuh di kaki Panembahan Senapati. Ia pun mengajak pemuda itu ke istananya yang berada di dasar samudera. Setelah tiga hari tiga malam, Ratu Pantai Laut Selatan berjanji akan membantu Senapati memenangkan peperangannya. 


Pangeran Senapati pun segera bergegas menuju Palagan Prambanan dengan dibantu oleh para pasukan arwah dari Pantai Selatan. Dalam perang tersebut, Panembahan Senapati menang dengan gemilang. 


Sang cucuk dari Panembahan Senapati, Sultan Agung (1613-1646) menciptakan sebuah tarian yang disebutnya dengan tarian Bedhaya, tarian ini mengisahkan balada cinta kakeknya dengan Ratu Laut Kidul. 


Menurut Nancy K. Florida dalam tulisannya “The Badhaya Katawang: A Translation of the Song of Kangjeng Ratu Kidul,” Indonesia Nomor 53 tahun 1992, saat terjadinya palihan nagari tahun 1755, keraton Yogyakarta mendapat bagian bedhaya semang, sedangan keraton Surakarta mendapat bagian bedhaya ketawang. Tarian itu pun hingga kini menjadi sakral dan wajib dilakukan saat upacara penobatan raja-raja baru. 


Namun, keberadaan Ratu Laut Kidul pernah disanggah oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer, dalam pidatonya ketika menerima penghargaan Ramon Magsaysay 1988, ia mengatakan bahwa cerita Ratu Laut Kidul itu hanyalah sebuah mitos. Dalam pidato tertulisnya itu ia menjelaskan bahwa Nyai Roro Kidul sengaja diciptakan oleh para pujangga istana Mataram sebagai kompensasi atas kekalahan Sultan Agung saat menyerang Batavia, sehingga gagal dalam menguasai jalur perdagangan di Pantai Utara Jawa.
 

“Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyai Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). Mitos ini melahirkan anak-anak mitos yang lain: bahwa setiap raja Mataram beristerikan Sang Dewi tersebut,”  tulisnya. 

Ia juga mengungkapkan mengenai mitos mengenakan pakaian hijau di wilayah Pantai Selatan adalah karena pujangga istana Mataram ingin memutuskan asosiasi oran pada warna pakaian yang dikenakan oleh tentara kompeni yang juga berwarna hijau. 


Sedangkan dalam tulisannya, Nancy K. Florida menyebut tentang renggangnya hubungan Sultan Yogyakarta dengan Nyai Roro Kidul setelah wafatnya Sultan Hamengkubuwono iX pada akhir tahun 1988. Akan tetapi saat penobatan Sultan Hamengkubuwono X, terlebih dengan melihat histeria massa saat itu menunjukkan bahwa masih adanya dukungan dan hubungan dengan Nyai Roro Kidul.


Sedangkan dalam cerita lainnya disebutkan bahwa, Banyu Bening yang adalah seorang ratu dari Kerajaan Joyo Kulon, menderita penyakit lepra yang membuatnya berkelana menuju selatan yang akhirnya menghilang setelah ditelan ombak yang besar. 


Penggambaran Nyai Roro Kidul terkadang diwujudkan dalam bentuk putri duyung yang mempunyai tubuh bagian bawah berbentuk ular atau ikan, namun terkadang sosoknya digambarkan sebagai wanita yang sangat cantik atau dalam wujud seekor ular. 


Penggambaran sosok ular yang penuh sisik itu kemungkinan besar berasal dari legenda mengenai putri kerajaan yang menderita penyakit kulit atau lepra. 

Mitos mengenakan pakaian hijau 


Seiring dengan cerita legenda Nyai Roro Kidul, muncul mitos-mitos di kalangan masyarakat mengenai larangan mengenakan busana atau pakaian yang berwarna hijau ketika berada di Pantai Selatan.  Warna hijau dipercaya adalah warna kesukaan Nyai Roro Kidul, sehingga jika ada pengunjung pantai yang mengenakan pakaian warna hijau maka akan menjadi sasaran Nyai Roro Kidul untuk dijadikan sebagai pelayan atau tentaranya. 


Meski begitu mitos tersebut bisa dipecahkan berdasarkan logika, bahwa pantai selatan merupakan kawasan pantai yang airnya cenderung berwarna kehijauan, sehingga ketika ada orang berpakaian hijau dan tenggelam di sekitar pantai tersbeut maka akan sulit bagi orang itu untuk ditemukan karena warnanya yang samar dengan air laut.

Sumber:

Wikipedia
Historia.id