Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Bung Karno harus tercampakkan di negerinya sendiri

Bukan sesuatu yang berlebihan ketika Bung Karno menerima julukan sebagai Putera Sang Fajar, dari mata awam sosok Bung Karno yang telah membawa bangsa dan negara ini menuju fajar kemerdekaan.

Seluruh kekuarang bangsa ini berada dalam genggaman seorang Soekarno, merah kata Bung Karno maka merahlah seluruh Indonesia, hitam kata Bung Karno maka hitamlah Indonesia. Kata-kata dan ajaran yang disampaikan oleh Bung Karno akan menjadi isi kepala dari seluruh bangsa Indonesia.

Berlatar belakang hal di atas, maka yang terbesit dalam fikiran kita adalah Bung Karno akan menggenggam Indonesia sampati akhir hayatnya. Pengangkatan Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup tentu melanggar Undang-Undang, tetapi hal itu dianggap sebagai sebuah kebenaran terutama oleh masyarakat kalangan bawah yaitu rakyatnya. Namun sejarah telah berkata lain ...



Tulisan berikut memberikan sedikit gambaran betapa pedihnya sayatan pedang sejarah, ambisi akan kekuasaan dengan saling menikung satu sama lain dengan tidak mempedulikan orang itu telah memberikan banyak jasa dan pengorbanannya untuk berdirinya sebuah negara.

 Tidak lama setelah mosi tidak percaya dari Parlemen bentukan Nasution di tahun1967 dan MPRS menunjuk Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, Bung Karno menerima surat pengusiran untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 x 24 jam. Dengan wajah yang sedih Bung Karno membaca surat pengusiran itu, bahkan ia sama sekali tidak punya waktu untuk menginventarisis barang-barang pribadinya.

Baca: Kisah Pilu Terusirnya Bung Karno dari Istana 

Raut muka tentara-tentara yang diperintahkan Soeharto untuk mengusir Bung Karno sudah tidak bersahabat lagi.

"Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!".

Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. “Mana kakak-kakakmu?” kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata “Mereka pergi ke rumah Ibu” rumah Ibu yang dimaksud Guruh adalah rumah Fatmawati yang terletak di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.

Bung Karno berkata lagi “Mas Guruh, Bapak sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain itu punya negara”. Kata Bung Karno lalu ia pergi ke ruang depan dan mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia.

Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan ia maklum, ajudan itu sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. “Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, souvenir, dan macam-macam barang itu milik negara”. 

Semua ajudan menangis menerima kenyataan mereka harus berpisah dengan seorang yang selama ini selalu bersikap ramah dan yang menganggap mereka sebagai bagian dari keluarganya, “Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan” salah satu ajudan hampir berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno.

Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda kita jelas hidungnya beda dengan hidung kita, perang dengan bangsa sendiri tidak.. lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara”. 

Beberapa orang dari dapur berlarian saat tau Bung Karno mau pergi, mereka bilang “Pak kami tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya” Bung Karno tertawa “Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga hari itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa….”



Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang seorang perwira suruhan Orde Baru. “Pak, bapak segera meninggalkan tempat ini” beberapa tentara sudah memasuki beberapa ruangan. Dalam pikiran Bung Karno yang ia takuti adalah bendera pusaka. Ia ke dalam ruang membungkus bendera pusaka dengan kertas koran lalu ia masukkan bendera itu ke dalam baju yang dikenakannya di dalam kaos oblong, Bung Karno bendera pusaka tidak akan dirawat oleh rezim ini dengan benar.

Bung Karno lalu menoleh pada ajudannya Saelan. “Aku pergi dulu” kata Bung Karno hanya dengan mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang hitam. “Bapak tidak berpakaian dulu” Bung Karno mengibaskan tangannya, ia terburu-buru.

Dan keluar dari Istana dengan naik mobil VW kodok ia minta diantarkan ke rumah Ibu Fatmawati di Sriwijaya, Kebayoran. Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong.  Ia sudah meminta agar Bendera Pusaka itu dirawat hato-hati.

Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun yang tumbuh di halaman. Kadang-kadang ia memegang dadanya, ia sakit ginjal parah namun obat-obatan yang biasanya diberikan tidak kunjung diberikan.

Hanya beberapa minggu Bung Karno di Sriwijaya tiba-tiba datang satu truk tentara ke rumah Sriwijaya. Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri yang orang Bali untuk jalan-jalan.

Saat melihat duku Bung Karno bilang “Aku pengen duku..Tri, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang” Nitri yang uangnya juga sedikit ngelihat dompetnya, ia cukup uang untuk beli duku. Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata “Pak bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil”

Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke Bung Karno “Mau pilih mana Pak, manis-manis nih” kata Tukang Duku dengan logat betawi. Bung Karno berkata “Coba kamu cari yang enak” Tukang Duku-nya merasa sangat akrab dengan suara itu dan dia berteriak “Lha itu kan suara Bapak…Bapak…Bapak” Tukang Duku berlari ke teman-temannya pedagang.



“Ada Pak Karno…ada Pak Karno” tidak butuh waktu lama kendaraan yang digunakan Bung Karno sudah dikelilingi oleh orang-orang yang sedang berkunjung di pasar tersebut, orang-orang yang mencintainya. Melihat hal itu Bung Karno hanya tertawa, ia senang masih ada rakyat yang masih berpihak kepadanya, rakyat yang mencintainya, namun ia takut mereka akan jadi sasaran tentara karena nanti akan disangka sebagai pendukung Bung Karno sehingga Bung Karno segera mengajak Nitri untuk langsung jalan, “Tri cepat jalan,".

Mendengar Bung Karno sering keluar rumah itulah tentara kemudian memerintahkan Bung Karno untuk diasingkan. Di Bogor, Bung Karno diasingkan ke Istana Batu Tulis dan dirawat oleh seorang dokter hewan ...

Kenyataan tragis yang dialami oleh Bung Karno seorang pendiri bangsa, sang proklamator dan sang perintis kemerdekaan merupakan sebuah bentuk gambaran tragis dari kondisi perpolitikan dan sistim alih kekuasaan di Indonesia.



Bung Karno yang telah mengabadikan semua perjalanan hidupnya untuk kebangkitan Bangsa Indonesia, pada akhirnya harus tercampakkan di tanahnya sendiri. 

Seperti dikutip dari penasoekarno.wordpress.com

Semoga bisa mengambil hikmahnya.