Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sepanjang sejarah becak

Dari masa penjajahan hingga pemerintahan Orde Baru, berbagai upaya menghapus becak sudah seringkali dilakukan, tapi tetap saja becak masih terlihat berseliweran di jalan raya meski jarak tempuhnya yang kian terbatas. Demi melangsungkan hidup, rupanya para abang becak itu rela bermain kucing-kucingan dengan pihak terkait. 

 sejarah becak


Tapi tahukah anda, sejarah becak sebenarnya berawal dari kesetiaan seorang suami kepada istrinya. Sekitar tahun 1865, saat sedang menikmati pemandangan kota Yokohama, Jepang, Jonathan Goble seorang misionaris Amerika tengah berpikir untuk membuatkan kendaraan untuk istrinya, Eliza Weeks yang sedang mengalami kelumpuhan. Ia pun menggoreskan penanya di selembar kertas untuk menggambar sebuah kereta kecil tanpa atap. Rancangan tersebut kemudian ia kirimkan kepada sahabatnya, Frank Pollay. Pollay kemudian membuatnya sesuai rancangan dari Goble lalu membawanya ke seorang pandai besi yang bernama Obadiah Wheeler untuk disambung-sambungkan, dan jadilah becak.

Becak pertama rancangan Goble



Masyarakat Jepang menyebut becak tersebut dengan jinrikisha (kendaraan yang ditarik tenaga manusia). Namun keberadaan jinrikisha itu pun cukup menarik perhatian kaum bangsawan, alhasil jinrikishaa kemudian identik dengan kendaraannya para bangsawan.

Sejak tahun 1870, pemerintah Jepang memberikan lisensi kepada tiga orang Jepang yaitu Izumi Yosuke, Suzuki Tokujiro, dan Takayama Kosuke untuk memproduksi jinrikisha. Dua tahun kemudian sejumlah 40.000 jinrikisha memadati jalanan di Tokyo dan sekitarnya.

Kepopuleran becak ternyata tidak cuma di Jepang saja, kendaraan ini pun menyeberang hingga daratan Cina, lalu melintasi Asia Selatan di India dan pada akhirnya menyapu seluruh Asia Tenggara, bahkan sampai juga ke Afrika Selatan. Kendaraan tersebut dibawa oleh imigran Cina ke negara-negara tujuannya.

Perkembangan berikutnya, becak tidak lagi dijalankan dengan cara ditarik manusia, melainkan dengan cara dikayuh. 



Kapan dan bagaimana becak bisa sampai ke Indonesia tidak diketahui secara jelas, namun Lea Jellanik dalam tulisannya "Seperti Roda Berputar", menulis bahwa becak didatangkan ke Batavia dari Singapura dan Hongkong sekitar tahun 1930-an. Sedangkan Jawa Shimbun edisi 20 Januari 1943 menulis bahwa becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia pada akhir 1930-an, hal ini diperkuat dengan catatan perjalanan seorang wartawan Jepang yang telah melanglangbuana menyambangi berbagai daerah di Indonesia, termasuk Makassar. Dalam catatan yang berjudul "Pen to Kamera" terbitan tahun 1937 itu, ia menyebutkan becak ditemukan orang Jepang yang tinggal di Makassar yang bernama Seiko-san yang kebetulan memiliki sebuah toko sepeda. Namun karena tokonya selalu sepi pembeli, akhirnya ia pun memutar otak agar tumpukan sepedanya yang tidak laku terjual bisa dikurangi, maka ia pun membuat kendaraan roda tiga, dan terciptalah becak.

Majalah Star Weekly terbitan tahun 1960 pernah menyebutkan bahwa bentuk becak yang ada di Indonesia kebanyakan berasal dari Tiongkok, bahkan sebutan kata becak atau betjak berasal dari Tiongkok yaitu bee (kuda) dan tja (gerobak) atau berarti kuda gerobak. Kendaraan ini masuk ke Indonesia pertama kalinya pada awal abad ke-20 dan digunakan oleh para pedagang Tionghoa mengangkut barang dagangannya. Mereka juga menulis bahwa pada tahun 1937 becak dikenal dengan nama "roda tiga", sedangkan penyebutan betjak / betja / beetja baru mulai digunakan pada tahun 1940 saat kendaraan itu mulai digunakan sebagai sarana angkutan umum. 




Versi lain asal-usul becak berasal dari Tim Hannigan dalam tulisannya yang berjudul "Beguiled by Becak" yang dimuat dalam kabarmag.com,  menyebutkan bahwa becak yang membawa penumpang mulai memadati jalanan Batavia sekitar tahun 1936, sebelumnya kendaraan roda tiga yang lazim digunkaan untuk membawa barang selama bertahun-tahun.

Namun berbeda dengan becak yang ada di Jepang (Jinrikisha) dan Cina (angkong) yang beroda dua dengan menggunakan ban mati, becak versi Indonesia justru lebih modern. Ketiga rodanya menggunakan ban angin dan cara menjalankanya pun dengan cara dikayuh oleh pengemudi yang berada di belakang tempat penumpangnya.

Pada masa-masa awal kehadiran becak, pemerintah kolonial Hindia Belanda merasa senang dengan moda transportasi baru yang cepat merakyat ini, namun belakangan kemudian muncul masalah, antara lain jumlah becak yang terus bertambah, membahayakan keselamatan penumpang, tidak tertib dan menimbulkan kemacetan, alhasil pemerintah kolonial waktu itu mulai memberlakukan pelarangan becak di jalan-jalan raya.

Namun setelah kedatangan Jepang pada tahun 1942, jumlah becak justru semakin meningkat pesat. Kontrol Jepang yang sangat ketat terhadap pemakaian bensin dan larangan kepemilikan kendaraan bermotor untuk pribadi menjadikan becak menjadi salah satu angkutan umum terbaik untuk melintasi jalanan kota -kota besar. Bahkan penguasa Jepang pun membentuk dan memobilisasi kelompok-kelompok, termasuk tukang becak demi kepentingan perang melalui pusat pelatihan pemunda yang mengajarkan konsep politik dan teknik organisasi.

Setelah perang berakhir, moda angkutan umum dan transportasi semakin berkembang, becak tetap bertahan. Bahkan becak ini menjadi alat transportasi yang menyebar bak jamur di hampir seluruh daerah di Indonesia. Sejak pertengahan tahun 1950-an, ada sekitar 25.000 hingga 30.000 becak di melenggang bebas di jalanan ibu kota. Jumlah tersebut terus membengkak hingga lima kali lipat pada tahun 1970-an.

Pemerintah Indonesia yang saat itu tengah gencar-gencarnya melakukan pembangunan, terutama Jakarta mulai merasa gelisah. Becak mulai dianggap sebagai gambaran keterbelakangan Indonesia yang kuno dan memalukan. Mulailah mereka mencari cara untuk menghambat laju pertumbuhan becak tersebut. Gubernur Ali Sadikin saat itu langsung mengeluarkan aturan larangan total angkutan yang menggunakan tenaga manusia serta membatasi wilayah operasi dari becak, dan sering mengadakan razia mendadak di daerah bebas becak. Ia juga yang kemudian memberlakukan batas waktu Jakarta bebas becak adalah hingga tahun 1979. Ironisnya, di tahun 1966 jumlah becak di Jakarta mencapai jumlah tertinggi dalam sejarah yaitu 160 ribu becak. 





Kebijakan pelarangan dan pengendalian becak kemudian dilanjutkan oleh gubernur-gubernur berikutnya mulai dari Suprapto, Wiyogo Atmodarminto sampai Sutiyoso. Becak dianggap sebagai angkutan umum yang tidak tertib, biang kemacetan dan alat angkut yang tidak manusiawi. Namun di sisi lain, becak juga harus menghadapi persaingan dengan moda transportasi lainnya seperti ojek motor, mikrolet dan metromini. Bahkan pada tahun 1980, pemerintah mendatangkan 10.000 minica yang berupa bajaj, helicak, mincar untuk menggantikan 150.000 becak yang ada di jalanan. Tukang-tukang becak itu pun kemudian beralih profesi menjadi pengemudi kendaraan bermotor itu, sedangkan becak milik merek dibuang ke Teluk Jakarta untuk dijadikan sebagai rumpon. 

Bagaimanapun dan usaha apapun untuk menyingkirkan becak dari jalan raya, sepertinya tidak pernah berhasil tuntas 100 persen. Karena hingga kini, keberadaan becak masih bisa dinikmati masyarakat yang masih membutuhkannya.