Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asal muasal Nyi Blorong dan para pemburu harta

Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beragam suku dan kebudayaan memiliki bermacam mitos dan legenda yang berakar secara turun temurun. Selain kisah mengenai Nyai Roro Kidul, cerita tentang para pemburu harta dan Nyi Blorong pun sudah lama dikenal masyarakat khususnya di Pulau Jawa.

Mitos mengenai Nyi Blorong masih tetap eksis dalam tradisi tutur di Indonesia dan disebarluaskan dengan beragam media mulai dari sandiwara radio hingga film layar lebar. Sosok Nyi Blorong ini digambarkan bisa berganti rupa menjadi perempuan yang sangat cantik hingga menjadi siluman ular bersisik emas. 


Asal muasal Nyi Blorong


Selain dipercaya sebagai pemimpin dalam dunia mahluk halus, sosok diyakini pula bisa memberikan kekayaan bagi mereka yang bersekutu dengannya. Karena itu pula pesugihan Nyi Blorong ini kerap menjadi buruan pada pemburu harta duniawi.

Ada persyaratan yang harus dipenuhi jika ingin bersekutu dengan Nyi Blorong untuk mendapatkan kekayaan, yaitu bersedia melakukan hubungan badan setiap malam Jum'at Kliwon serta mau menyediakan tumbal sebagai balas jasa. Setelah bercinta, sisik di tubuh Nyi Blorong ini akan berguguran dan berubah menjadi kepingan emas atau menjadi butiran intan dan mutiara. 

Cerita mengenai Nyi Blorong ini sebenarnya sudah ada sejak abad ke-19. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, H.A.Van Hien seorang penulis Belanda sudah mencatat keberadaan Nyi Blorong ini dalam bukunya yang berjudul De Javaansche geestenwereld, en de betrekking, die tussen de geesten en de zinnelijk wereld, verduidelijkt door petangan′s of tellingen bij de Javanen in gebruik terbitan tahun 1896.

Dalam bukunya, Van Hien menyebutkan ada 95 jenis mahluk halus yang terkenal di Jawa, salah satunya adalah Nyi Blorong yang ia tuliskan sebagai berikut: Segala jenis kekayaan akan diberikan kepada si pemanggil. Dan hal itu berjangka waktu selama tujuh tahun, namun bisa diperpanjang hingga dua kali lagi. Namun selama itu harus ada yang dikorbankan, dan terakhir si pemanggil itu yang menjadi korban dan mengisi istana Nyai Blorong,”

Pada tahun 1904, J Kreemer, seorang peneliti budaya berkebangsaan Belanda dalam artikelnya yang dimuat dalam Mededelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap yang berjudul “Blorong of de geldgodin der Javanen”, menceritakan kisah mengenai Nyi Blorong.

Suatu hari seorang petani miskin dari desa Soegihsaras, distrik Sidokantoen, tengah berbincang-bincang dengan seorang tua yang dipanggilnya dengan sebutan Kyai atau Embah. Petani tersebut mengeluh sudah lelah hidup dalam kemiskinan, bahkan diakuinya dialah yang paling miskin daripada lima saudaranya. Petani itu ingin bisa kaya dengan cepat bagaimanapun caranya.

Si Embah berkenan membantunya, namun ia memberikan syarat yaitu si petani harus bersedia menyediakan tumbal. Tanpa pikir panjang, petani itu pun menyanggupinya. Dia pun diminta menyediakan sebuah kamar khusus, lengkap dengan pembaringan yang ditutupi oleh kelambu. Pada hari Jumat legi, dia diminta menyiapkan pelita di atas kasur, lengkap dengan dupa dan bunga tujuh rupa.

“Sekarang sekitar tengah malam, dia mendengar suara seperti angin puyuh. Lalu setelah tenang, Blorong muncul di atas peraduan. Kakinya tidak terlihat, hanya tampak ekor ular yang seluruhnya tertutup sisik emas,”
  demikian tulisannya.

Cerita yang dikisahkan oleh Kramer menjadi bukti bahwa kepercayaan masyarakat akan tuah Nyi Blorong sudah berlangsung sangat lama. Namun pada umumnya, sebagian besar masyarakat Jawa menganggap negatif orang kaya yang telah bersekutu dengan Nyi Blorong ini. Bahkan pelaku pesugihan itu bisa kehilangan status sebagai anggota masyarakat.

Raden Ngabehi Ranggawarsito pun pernah mengkritik praktik-praktik tersebut, menurutnya seperti tertuang dalam Serat Jayengbaya yang ia tulis kala masih menjabat sebagai mantri carik atau juru tulis kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Sarataka sekitar tahun 1822-1830. Ranggawarsito memakai kata "Nyi Blorong" untuk mengolok-olok situasi dan kondisi masyarakat Jawa pada waktu itu. Yang jika diterjemahkan adalah sebagai berikut:

Yang sudah-sudah cepat kaya / sehingga seperti Nyai Blorong belaka / tidak usah ke Gunung Cereme / asal suka berbuat baik kepada tetangga / melimpahkan belas kasih / kiranya aku tidak akan, ketahuan mata-mata.

Lalu, siapa sebenarnya sosok Nyi Blorong ini, apakah ia merupakan sosok yang nyata atau hanya tokoh fiksi dalam legenda dan mitos saja.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Nyi Blorong merupakan putri dari penguasa laut selatan yaitu Ratu Kidul. Kisah tersebut tersurat dalam Babad Prambanan yang disalin pada tahun 1927. Selain itu, babad ini pun memiliki versi lainnya yang berumur lebih tua yang disalin oleh Wirsungun di wilayah Mangkunegaran pada tahun 1885 atas usulan B.R.Ng. Keduanya menceritakan berdirinya Candi Prambanan dan juga kisah tentang Ajisaka. Yang menarik adalah, mitos Aji Saka juga tersurat dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa, sebuah kumpulan cerita wayang dan dongeng yang digubah ke dalam tembang macapat sekitar abad ke-16.

Diceritakan bahwa akibat telah membunuh seekor naga yang sedang bertapa di sebuah goa, Prabu Aji Saka dan Medhangkamulan memiliki anak berwujud naga yang diberinama Naga Nginglung. Meskpun malu, namun Aji Saka mau mengakuinya sebagai anaknya sendiri asalkan Naga Nginglung bisa mengalahkan musuh bebuyutannya, Dewatacengkar yang telah menjelma menjadi buaya putih dan bersemayam di pantai selatan.

Sementara itu, raja lelembut penguasa laut selatan yang bernama Nginangin tengah menggelar rapat untuk membahas kekacauan yang terjadi akibat ulah Dewatacengkat. Ia pun membuat sebuah sayembara yaitu barangsiapa yang sanggup mengalahkan buaya putih itu, maka ia akan dinikahkan dengan putrinya, Rara Blorong, yang meski memiliki badan manusia namun ia memiliki sisik di seluruh tubuhnya. Tidak butuh waktu lama, buaya putih itu sudah dikalahkan oleh Naga Nginglung, maka digelarlah pernikahan tersebut.

Dari cerita yang beredar di masyarakat disebutkan bahwa Nyi Blorong memiliki nama lain yaitu Nyimas Dewi Anggatri, seorang perempuan cantik yang dibesarkan di lingkungan keraton yang serba berkecukupan dan memiliki sifat angkuh dan jahat. Karena kejahatannya itu, ia pun terusir dari keraton dan terasing di sebuah hutan di daerah selatan.

Dalam perjalanannya, secara tak sengaja ia melintasi sebuah gerbang ghaib yang membawanya masuk ke dalam sebuah kerajaan jin milik ratu laut selatan, Nyi Roro Kidul. Tahu ada manusia yang telah melanggar batas wilayahnya, sang ratu memerintahkan prajurit kerajaan untuk segera menangkapnya. 

Perempuan itu pun dibawa ke hadapan sang ratu, dan di depan Nyi Roro Kidul, Nyimas Dewi Anggatri menceritakan kisah hidupnya. Mendengar ceritanya, Nyi Roro Kidul merasa iba lalu mengangkatnya sebagai anaknya dan memberikan anugrah berupa kesaktian siluman ulat pada Nyimas Dewi Anggatri, setelah itu Nyi Roro Kidul mengganti namanya menjadi Nyi Blorong.

Pada mulanya, Nyi Blorong hanya dianggap sebagai gadis biasa, namun karena kepiawaiannya dalam memimpin, berperang, serta bekal kesaktian ularnya, Nyi Roro Kidul kemudian memberikan kepercayaan padanya untuk menjadi pemimpin batalion dalam satuan prajurit yang dimiliki kerajaan. Seiring dengan keberhasilannya dalam memimpin, Nyi Blorong secara bertahap kemudian dipercaya menjadi panglima tertinggi dalam pertahanan keraton kerajaan Pantai Selatan.






Dalam buku "A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul" karangan Robert Wessing yang dimuat dalam Asian Folklore Studies Vol.56 / 1997 menyebutkan bahwa ular adalah mahluk favorit dalam setiap cerita rakyat yang berkembang di Asia Tenggara, Tiongkok dan India. Dalam banyak cerita, ular atau naga sering dihubung-hubungkan degan penguasa, panen dan kesuburan.

Dalam kisah pewayangan Jawa pun ada tokoh Anantaboga yang diwujudkan sebagai dewa berwujud nada. Anantaboga sendiri melambangkan kemakmuran atau kebahagiaan. Maka itu, tak heran kalau dalam pandangan masyarakat Jawa pedalaman yang agraris, Nyi Blorong memiliki arti yang cukup penting. Wujudnya yang menyerupai ular dianggap sebagai penjaga lahan pertanian dari serangan hama tikur, sehingga sering dilakukan sedekah bumi. Seiring berjalannya waktu, kisah Nyi Blorong pun berkembang dan lebih lekat dengan pesugihan dan mahluk halus. apalagi didukung oleh cerita-cerita dalam film layar lebar atau sebuah sandiwara radio.

Baca juga: 

Misteri dan asal usul lagu lingsir wengi