Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah sang raja pelindung satwa

Tidak banyak pemimpin yang dengan ketulusan hatinya mau menjadi pelindung bagi seluruh mahluk hidup yang ada di bumi. Adalah Asoka, seorang anak raja yang memiliki kecerdasan dan kepandaian sebagai petarung dan juga negarawan yang mengeluarkan titah tersebut tatkala dirinya dinobatkan sebagai raja.

Selama berabad-abad, di India tumbuh kesadaran dari warganya untuk menjaga lingkungan. Catatan yang ditemukan dalam pilar dan batu-batu besar di seluruh negeri mengungkap fatwa-fatwa tentang perlindungan satwa yang dikeluarkan oleh Raja Asoka.


Asoka, sang raja pelindung satwa


Walaupun ada beragam versi namun para budayawan menyebutkan bahwa Asoka lahir sekitar tahun 304 SM. Sebagai seorang putra raja, Asoka tumbuh sebagai anak yang sangat gesti dan berani, handal dalam berburu, dan  jago dalam memimpin perang dan juga sebagai negarawan ulung. Beberapa resimen tentara Maurya yang dipimpinnya selalu berhasil memenangi perang-perang. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki Asoka membuatnya menjadi terkenal, dan hal itu yang membuat saudara-saudaranya menjadi cemas. Mereka takut, ayah mereka, Raja Bindusara kelak memilih Asoka sebagai penerus kerajaan.

Setelah kematian Bindusara dan perang suksesi, Asoka menjadi raja ketiga dari dinasti Maurya. Dia bergelar Devanampiya Piyadasi yang artinya adalah "Kekasih para dewa, dia yang memandang dengan cinta kasih."

Semasa berkuasa, Asoka berhasil menyatukan beberapa wilayah yang sangat luas yang berada di bawah kekaisarannya. Wilayah kekuasaannya bahkan melampaui batas-batas kedaulatan India pada saat ini. Selama menjadi raja itu, Asoka dikenal sebagai pemimpin yang kejam dan haus darah. Puncaknya terjadi pada tahun 262 SM, delapan tahun setelah dirinya dinobatkan sebagai raja, tentara Asoka menyerang dan menaklukkan Kalinga. Peristiwa tersebut menimbulkan kerugian di kedua pihak, bahkan ribuan nyawa harus melayang akibatnya.

Pada suatu hari seusai perang, Asoka mengunjungi bekas palagan pasukannya. Di situ ia melihat rumah-rumah yang rusak dan hangus terbakar dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Mereka yang masih hidup tampak bergulingan di tanah menahan sekarat. Mellihat pemandangan tersebut, hatinya hancur. "Perbuatan mengerikan apa yang telah kulakukan?". ujarnya seperti diceritakan Ariyakumara dalam Riwayat Hidup Raja Asoka.

Semenjak itulah, dia bertekad tidak akan lagi mengobarkan perang. Asoka pun menghapus kebijakan mengenai perluasan tanah kerajaan. Selama hidupnya, Asoka menerapkan prinsip-prinsip Buddha dalam sistem tatanegara kerajaannya. Selama pemerintahannya, ia menerapkan prinsip untuk melindungi lingkungan.

"Negara mempunyai tanggung jawab tidak hanya untuk melindungi saja, namun juga untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan juga satwa-satwa liar," tulis Ven.S.Dhammika, seorang bhiku asal Australia dalam tulisannya The Edicts of King Ashoka yang telah diterbitkan di cs.colostate.edu.

Prinsip Raja Asoka dalam menjaga lingkungan dan mahluk hidup yang ada di dalamnya bukanlah sekedar cerita legenda belaka, hal tersebut diperkuat oleh penemuan dan penerjemahan tulisan-tulisan kuno yang tertera pada pilar dan batu-batu besar. Upaya tersebut dimulai oleh seorang filolog, James Prinsep pada tahun 1837 yang menemukan tulisan-tulisan kuno di sebuah pilar batu besar di Delhi lalu menerjemahkannya. Dekade berikutnya, ditemukan lebih banyak lagi fatwa-fatwa sang raja tersebut yang tersebar di lebih dari 30 tempat di seluruh India, Nepal, Pakistan, dan Afghanistan.

Titah Tujuh Pilar dikeluarkan oleh Raja Asoka pada tahun 265 SM, dan salah satu dati titahnya tersebut adalah sebagai berikut:

“26 tahun setelah penobatan saya, berbagai hewan dinyatakan dilindungi –burung kakatua, mainas, angsa merah, itik liar, kelelawar, semut ratu, terrapins, ikan tak bertulang, ikan, kura-kura, landak, tupai, rusa, banteng, keledai liar, merpati liar, merpati piaraan, dan semua makhluk berkaki empat yang tak berguna dan tak bisa dimakan ...“

“Kambing betina, biri-biri betina, dan babi betina yang masih bersama anaknya atau memberikan susu kepada anaknya juga dilindungi. Ayam jantan tak boleh dikebiri, sekam yang di dalamnya bersembunyi makhluk hidup tak boleh dibakar dan hutan tak boleh dibakar tanpa alasan ataupun untuk membunuh makhluk-makhluk….”


Dalam A history of Indian Buddhism: from AsAkyamuni to early MahAyAna, Akira Hirakawa menulis bahwa Asoka berulangkali mengatakan dalam setiap titah-titahnya mengenai pentingnya untuk saling menghormati antar setiap mahluk hidup. Tidak hanya sekedar ucapan lisan saja, namun Asoka mencontohkannya dengan perbuatan nyata, tidak sebatas memberi perintah, dengan harapan rakyat bisa mengikutinya.

Selama masa kepemimpinannya, Asoka telah mendirikan banyak hutan-hutan lindung  dan suaka bagi satwa-satwa liar. Bahkan rumah sakit khusus hewan pun ia dirikan. Selain itu, Asoka juga tidak melanjutkan kebiasaan berburu hewan untuk kesenangan. Di kerajaannya, olahraga berburu menjadi aktivitas terlarang, dan hanya diperkenankan untuk melangsungkan hidup saja bukan untuk bersenang-senang.

Dalam lingkungan kerajaannya, Asoka secara bertahap menghentikan penyembelihan-penyembelihan hewan untuk  dimasak. Pada awalnya, sekitar ratusan ribu hewan disembelih setiap hari untuk diolah menjadi makanan di dapur istananya. Seiring dengan itu, jumlahnya kian berkurang dan hanya tiga jenis hewan saja yang boleh disembelih untuk makanan istana, yaitu dua burung merak dan seekor rusa. Kelak, tidak satupun hewan yang jadi santapannya setelah Asoka menjadi seorang vegetarian.

Pengaruh tersebut ternyata hingga di luar wilayah kerajaannya, pada waktu Asoka mengirimkan beberapa misionaris, termasuk anaknya, Arahat Mahinda, ke Thailand dan Sri Lanka untuk memberi pengajaran tentang Buddhisme. Saat tiba di Sri Lanka ( 247 SM), Arahat Mahinda menghentikkan upaya Raja Devanampiya Tissa dari membunuh seekor rusa dalam perburuannya, dan mengatakan kepada raja itu bahwa setiap mahluk hidup punya hak sama untuk hidup di bumi. Atas bujukan itu, Raja Devanampiyatissa menjadi Buddha dan menetapkan titah kerajaan bahwa tidak seorang pun boleh membunuh atau menyakiti mahluk hidup. Dia pun memisahkan area luas yang ada di sekitar istananya menjadi tempat perlindungan bagi flora dan fauna. Kelak taman yang disebut dengan Mahamevna Uyana itu diyakini sebagai cagar alam pertama di dunia. 

Devanampiya Tissa

Kemana pun mereka pergi, Arahat Mahinda dan juga utusan-utusan Asoka lainya berupaya untuk memperkenalkan perlindungan satwa dan lingkungan sebagai fungsi sentral biara. Hingga kini, biara-biara Buddha yang ada di Thailand dan Sri Lanka sering berfungsi sebagai tempat perlindungan hewan, walaupun kemudian terdistorsi dan hanya menjadi perlindungan bagi gajah-gajah saja. Meski begitu, semua upaya yang dilakukan Asoka itu adalah untuk menebus semua dosa dan kesalahannya atas mahluk-mahluk yang telah kehilangan nyawanya pada waktu ia memerintah dengan lalim. 

Setelah 38 tahun memerintah kerajaannya, dan pada usia 72 tahun Asoka meninggal dunia di tahun 232 SM. Sayangnya, berabad-abad setelah kematiannya dunia tidak lagi menjadi tempat yang aman untuk semua jenis mahluk hidup. Dan setelah bumi mulai semakin rusak dan beberapa jenis satwa mulai banyak yang punah tak bersisa, orang-orang baru menaruh perhatian pada isu lingkungan. Namun begitu, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki semuanya itu. 


Sumber: Historia.id