Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gerhana matahari dalam budaya dan mitologi (mitos)

Pada zaman dahulu, di Pulau Bangka ada raksasa yang bernama Rau. Raksasa ini sangat berkeinginan meminang salah satu dewi yang ada di kahyangan sana. Akan tetapi, hasrat Rau ditolak mentah-mentah oleh sang Dewi yang dipujanya, dan kisahpun berawal. 

mitos mitos gerhana matahari


Merasa terhina dengan penolakan tersebut, Rau pun berusaha memaksa sang Dewi, namun Dewa Surya (Matahari) dan Dewa Candra (Bulan) yang tidak suka melihat pemaksaan tersebut mengadukan tentang pemaksaan tersebut pada sang Dewa Wisnu.

Wisnu pun memberi hukuman pada Rau, ia memanah leher sang raksasa hingga terpisah dari badannya. Kepala Rau jatuh dan masuk ke dalam Telaga Amerta yang berisi air suci yang biasa digunakan para dewa untuk keabadian. Sedangkan badan Rau jatuh dan menghunjam tanah. 


Hukuman itu membuat Rau sangat murka, karena kepalanya terjatuh dalam telaga keabadian itu, maka kepalanya tetap hidup berkat air suci itu. Ia pun terus berusaha mengejar-ngejar sang Dewi idamannya.  Bulan dan Matahari menjadi tempat persembunyian bagi sang Dewi, namun Rau selalu mengetahuinya dan berusaha memakan Bulan atau Matahari agar sang Dewi muncul, sehingga terjadilah gerhana. 


Mitos mengenai raksasa yang memakan matahari dan bulan ini merupakan salah satu pengaruh budaya Hindu yang masuk ke Pulau Bangka sejak abag ketiga Masehi. Selama berabad-abad, kisah Rau menghantui warga Bangka, dan untuk mengusir sang raksasa tersebut, mereka biasanya menggunakan berbagai macam peralatan untuk membuat kegaduhan dalam upayanya mengusir sang raksasa. 


Cerita berbeda ditemukan dalam cerita aslinya yang berasal dari India. Dalam cerita tersebut, disebutkan bahwa Rau yang di India disebut Rahu hendak mencuri resep keabadian para dewa di kolam Tirta Amerta agar bisa hidup abadi. Namun perbuatannya diketahui oleh Dewa Surya dan Dewa Candra.  Kedua dewa itu pun mengadukan ulah Rahu pada Dewa Wisnu.

Pada saat Rahu sedang meminum air suci tersebut untuk tujuan keabadian, Wisnu memenggal kepalanya dengan menggunakan cakra pusaka. Sekali tebas kepala dan badan terpisah, kepala Rahu masuk ke dalam kolam sedangkan tubuhnya terhunjam di tanah. Oleh karena tercebur ke dalam kolam suci tersebut, maka kepala Rahu menjadi abadi dan terus mengembara di langit untuk mengejar dan memakan Dewa Surya dan Candra yang telah mengadukannya pada Wisnu. 


Rahu yang sedang berusaha memakan matahari


Dalam versi Jawa, Rau atau Rahu disebut sebagai Batara Kala. Namun dalam naskah Jawa Kuno Adiparwa berangka tahun 998 Masehi yang diduga merupakan salah satu naskah tertua di Nusantara yang menceritakan mitologi gerhana matahari. Sang raksasa pemakan matahari dan bulan itu tidaklah memiliki nama, baik itu Rau, Rahu atau Batara Kala. 


Dalam Bab VI Adiparwa diceritakan bahwa, seorang raksasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dan Sang Singhika berubah wujudnya menjadi Dewa setelah meminum air amerta. Sang Hyang Aditya (Dewa Matahari) dan Sang Hyang Candra (Dewa Bulan) yang mengetahui ulah raksasa itu kemudian segera mengadukannya pada Sang Dewa Wisnu. 


Batara kala sedang memakan matahari dan bulan


Tepat saat air amerta baru mencapai tenggorokannya, Dewa Wisnu menebas lehernya dengan senjata pusakanya. Tubuh raksasa yang belum termasuki air suci itu pun mati dan jatuh ke tanah, teronggok bagai puncak sebuah gunung. Saat tubuhnya menghempas, bumi pun berguncang sangat hebatnya akibat besarnya tubuh sang raksasa. 


Sedangkan kepalanya yang sudah kecipratan air suci itu menjadi hidup kekal dan melayang-layang di angkasa. Dalam keabadiannya itu, kepala raksasa itu menyimpan dendam kesumat pada Dewa Matahari dan Dewa Bulan, sehingga selalu berusaha memakan mereka setiap ada kesempatan. 


Walaupun alur ketiga cerita di atas sedikit memiliki perbedaan, namun akhir ceritanya tetap sama yaitu Sang raksasa yang gagal mencapai tujuannya oleh karena Dewa Matahari dan Dewa Bulan. Karena itu pula selalu mencoba untuk memakannya sehingga terjadilah apa yang kita sebut sebagai gerhana. 


Mitologi berbeda ditemukan dalam masyarakat Dayak. Bagi masyarakat Dayak, Ketika terjadi gerhana matahari, maka pada saat itu matahari sedang dikuasai oleh Jangkarang Matan Andau, yang merupakan manifestasi dari Hyang Ilahi. Gerhana itu sendiri merupakan pertanda dari Jangkaran Mantan Andau bagi keberlangsungan hidup manusia di masa mendatang. 


“Jika gerhana matahari terjadi pagi hari atau subuh, itu pertanda baik bagi mereka yang berusia muda, mulai dari baru lahir hingga usia dewasa, akan memnperoleh terang kehidupan. Pada pagi hari terdapat kesegaran, kesejukan dan kesehatan,” kata Bajik Rubuh Simpei, rohaniwan Hindu Kaharingan, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah seperti dilansir dari National Geographic Indonesia. 


Kemudian, apabila gerhana terjadi pada siang harinya, maka perlu diwaspadai akan terjadi sebuah bencana atau gejolak di kemudian harinya. Sifat siang hari yang panas, rentan memunculkan gejolak yang harus diantisipasi pada masa mendatang. Tapi jika gerhana matahari terjadi di waktu sore hari, masyarakat Dayak percaya di masa datang akan damai, aman dan penuh berkat. 


Pada saat terjadi gerhana matahari, puji-pujian akan dipersembahkan melalui upacara adat oleh sang balian (dukun), dengan disertai  mantera-mantera dan  do'a-do'a berbahasa Sangiang atau bahasa leluhur. Tradisi tersebut dilakukan untuk menjaga keseimbangan alam semesta, sekaligus pengucapan syukur kepada sang pencipta. 


Itulah beberapa mitologi yang bisa ditemui di berbagai daerah dan sudah dikenal sejak turun temurun.  Beragam mitos-mitos dan tradisi unik menyambut gerhana di masyarakat Nusantara kini sudah banyak ditinggalkan seiring meningkatnya pengetahuan mereka akan penyebab terjadinya gerhana. Namun begitu, mitologi-mitologi tersebut tetap akan jadi pewarna, dan pelengkap serta bisa memperkaya pola pikir manusia Indonesia yang modern. 


Sumber dan Referensi: National Geographics