Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Bule Belanda dan Tanah Abang dahulu dan sekarang

Pernahkah anda membayangkan bagaimana kondisi sebuah tempat di masa lalu dan sekarang, meskipun anda tidak pernah mengunjunginya ? Bagi Sven Verbeek, semua itu bisa mungkin, walaupun harus melalui serangkaian riset selama lebih dari 25 tahun tentang lokasi tersebut.  

Tanah abang dahulu dan sekarang


Tanah Abang  adalah sebuah tempat yang mengundang ketertarikan pria kelahiran Belanda tersebut. Kawasan pemukiman yang pada jaman pemerintahan Hindia Belanda adalah kawasan yang subur yang dipenuhi pendatang pada masanya, kini menjadi sebuah kawasan yang super sibuk di Ibu Kota.

Ketertarikan Sven pada Tanah Abang berawal dari kisah sang nenek, Welly van Garderen yang pernah menghabiskan masa mudanya di daerah tersebut. "Bagi saya, itu seperti hidup di planet lain. Hangatnya udara, pepohonan, burung-burung, buah-buah tropis, orang Indonesia yang ramah, dan rumah yang lapang," ungkap Sven dalam laman Facebook yang didedikasikan untuk Tanah Abang.


Rumah Bukit Tanah Abang pada tahun 1863 dan kondisinya saat ini (2015)

Seperti dilansir BBC Indonesia, Sven yang kini menetap di Australia berkata bahwa empat generasi dari leluhurnya pernah tinggal di kawasan Tanah Abang dari tahun 1863 hingga 1948, saat itu mereka memiliki empat rumah yang dikenal dengan Tanah Abang Heuvel atau Bukit Tanah Abang. 


"Dia (nenek) bisa bicara berjam-jam tentang masa kecilnya. Berjalan tanpa alas kaki ke rumah sebelah yang ditinggali kakek dan neneknya. Mengendap-endap keluar jendela malam hari dengan kakak laki-lakinya ke Pasar Tanah Abang untuk membeli sirup susu dan kolang kaling."


Foto kakek Sven di depan rumah Bukit Tanah Abang pada 1927 dan Sven di lokasi yang sama tahun 2015

Di tahun 1995, Sven untuk pertama kalinya berkunjung ke Tanah Abang, dan beberapa tahun kemudian pada bulan Mei 2015 lalu, ia kembali berkunjung bersama Scoott dan sahabat museumnya untuk napak tilas , karena pada bulan itu tepat 88 tahun kakek dan neneknya menikah di Bukit Tanah Abang. 


"Saya berniat berfoto kembali di titik yang sama ketika kakek saya berdiri dan duduk. Meskipun ini adalah momen istimewa, sangat sulit bernostalgia tentang kehidupan pada 1927 karena perubahan yang sangat dramatis. Dan karena kemacetan dan kebisingan pasar, sulit untuk berefleksi dan berkontemplasi. Seperti Anda lihat di foto, tidak ada yang terlihat sama."

"Jujur saja, area ini tidak semakin menarik dan sangat sibuk, berantakan dan berisik hari ini. Dan banyak bangunan bersejarah telah dihancurkan. Seseorang bisa menjadi sedih dengan cepat karena banyaknya perubahan ini."


Sang kakek dan neneknya pada tahun 1927 dan lokasi sekarang

Dalam catatan Sven, pada tahun 1995 lalu masih ada setidaknya 25 hingga 30 bangunan peninggalan Belanda sebelum Perang Dunia II yang masih berdiri di Jalan Abdul Muis dan Jalan Tanah Abang Timur, tapi kini hanya tersisa kurang dari lima bangunan saja yang masih tetap berdiri. 


Walau begitu, ia mengaku harus realistis karena populasi Jakarta telah menggendut dari 300.000 orang pada tahun 1920-1930 menjadi 12 juta sekarang. Bagaimanapun Tanah Abang tetap akan 'berubah'. 


Untuk mengabadikan kenangan sang kakek, Sven berpose di lokasi yang sama dimana dahulu kakek dan neneknya pernah berpose. 


Jalan Fachrudin, Tanah Abang pada 1899 dan sekarang