Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah asmara Bung Karno dan Hartini

Membicarakan kehidupan Bung Karno sepertinya kurang lengkap tanpa melibatkan wanita-wanita yang ada di sekelilingnya. Seperti  Hartini, sosok wanita yang dengan setia terus mendampingi Bung Karno hingga akhir kehidupannya. Ya, meskipun ada beberapa nama yang pernah menghiasi kehidupan Bung Karno, namun semua itu tidak bertahan lama. 

Kisah Bung Karno dan Hartini




Pada saat 'ditemukan' oleh Bung Karno di Salatiga pada tahun 1952, Hartini adalah seorang janda beranak lima. Kisah asmara Bung Karno dan Hartini memang layak diangkat, menginat hari pernikahan mereka dilangsungkan pada tanggal 7 Juli 1954 di Bogor, atau tepatnya 61 tahun yang lalu.

Kisah asmara Bung Karno dan Hartini adalah sebuah kisah yang cukup unik dan dramatik. Pada hari itu, Bung Karno dijadwalkan melakukan kunjungan ke Jawa Tengah dan Yogyakara, dan dalam perjalanan dinasnya, presiden dan rombongan menyempatkan diri untuk singgah di Salatiga. 


Mendengar akan datang sang Proklamator ke kota mereka, sejak pagi-pagi hari sekali rakyat Salatiga dan sekitarnya berbondong-bondong  menjejali Lapangan Tamansari, karena di lapangan itulah Bung Karno akan menyapa rakyat Salatiga dalam pidatonya yang memang selalu ditunggu-tunggu. Bung Karno memang terkenal dengan kepiawaiannya berorasi yang sanggup membangkitkan semangat, karena itu setiap dalam kunjungannya, pidatonya lah yang paling ditunggu-ditunggu rakyat dengan antusias. 


Ibarat syuting sinetron, suasana keramaian di lapangan berganti menjadi suasana kesibukan luar biasa di kediaman Walikota Salatiga, karena di tempat itu Bung Karno akan beristirahat sejenak sekaligus makan siang. Untuk menjamu Bung Karno dan rombongannya itu, sepasukan ibu-ibu pun disiapkan untuk urusan menyiapkan meja tamu hingga masak memasak di dapur. 


Nah, di antara para wanita yang sibuk dengan urusannya masing-masing itu, tampak sosok perempuan dengan raut wajah penuh kelembutan, kulitnya bersih kuning langsat, perawakannya semampai, rambut panjang hitam hingga pinggang dan senyumlah itu loh,, sangat manis tersungging di bibir yang merekah indah. Selidik punya selidik, wanita itu bernama Siti Suhartini, yang tinggal tak jauh ( 100 meteran) dari rumah Walikota Salatiga. Sebagai tetangga, wanita yang memiliki nama panggilan Hartini itu 'dijawil' Walikota untuk ikut membantu di dapur dan menyambut kedatangan Bapak Presiden Sukarno. Dalam kesempatan itu, ia memasak sayur lodeh untuk melengkapi masakan yang telah dibuat oleh ibu-ibu lainnya. 


Kini kita kembali ke suasana ramai di Lapangan Tamansari, hiruk pikuk rakyat mulai terdengar lebih riuh. Ternyata Bung Karno memang sudah tiba, dan tampak melambai-lambaikan tangannya pada rakyat yang menyambutnya. Sesampainya di podium, mendadak suasana ramai berubah menjadi keheningan, seakan-akan tersirep oleh suasana magis. Tampaknya rakyat akan siap dengan teriakan "Merdeka!!' dengan kuat-kuat jika nanti sang Presiden menguluk salam seperti yang biasa dilakukannya sebelum berpidato. Tapi ternyata, Bung Karno membuka pidatonya dengan lantunan lagu 'Suwe Ora Jamu " .. 


Sontak saja, rakyat menjadi semakin riuh bergemuruh bak air bah yang menelan kaum Nabi Nuh yang menyangsikan keNabiannya. Rakyat memekik, ada yang bertepuk tangan, ada yang ikut bernyanyi, bahkan ada juga yang memekik "Merdeka!! Merdeka!!Merdeka!!. Sungguh, hati rakyat saat itu benar-benar telah terjerat oleh kharisma seorang Bung Karno. Dan ketika Bung Karno mulai pidatonya dengan berapi-api, rakyat pun tersihir, mereka semua menyimak kata demi kata, sambil menikmati alunan tinggi rendahnya suara Singa Podium.
Singkat kata, selesai berorasi , Bung Karno beserta para pejabat daerah, ajudan dan pengawal bersiap menuju kediaman Walikota Salatiga. Sesampainya di sana, hidangan telah tersaji cukup lengkap dengan aroma yang sanggup mempermainkan hidung dan perut orang-orang yang berada di dekatnya, tak terkecuali Bung Karno. Tak butuh waktu lama, mereka pun segera menikmati hidangan makan siang itu. 


Bung Karno segera menyambar sayur lodeh di hadapannya, sayur lodeh buatan Hartini tadi di dapur. Dengan lahap ia menghabiskan sayur lodeh tersebut, ya sayur lodeh memang merupakan makanan favoritnya putera sang fajar. Merasa sangat menikmati masakan sayur lodeh yang menurutnya sangat lezat tersebut, sampai-sampai seusai jamuan makan, ia menyempatkan diri bertanya pada orang-orang di situ. "Siapa yang masak sayur lodeh yang enak ini?, Saya inging mengucap terima kasih kepadanya." 


Bisa anda bayangkan lah bagaimana suasana saat itu, di mana ada Bung Karno pastilah ada antusiasme siapapun untuk mendekat, melihat bahkan kalau diizinkan mungkin akan mendekap, mencium kakinya atau bahkan menjembel pipinya!!..  Pada saat Bung Karno bertanya siapa yang memasak itulah, kehebohan terjadi di kalangan para perempuan yang bertugas memasak, punggung Sri Hartini di dorong-dorong oleh teman-temannya untuk maju ke hadapan Bung Karno dan menerima ucapan terima kasihnya. 




Dalam buku Srihana-Srihani Biografi Hartini Sukarno, terpapar pengakuan Hartini ihwal momen yang kemudian mengubah jalan hidupnya, di rumah Walikota Salatiga. Ia mengaku, gugup dan senang ketika maju dan mengulurkan tangan kepada Bung Karno. Hartini ingat betul, Bung Karno menjabat tangan Hartini begitu hangat dan… lama! Bung Karno benar-benar terkesiap oleh kecantikan Hartini dengan segala kelebihannya sebagai sesosok perempuan. Sambil tetap memegang tangan Hartini, Bung Karno bertanya basi, “Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?”


Pada hari itulah, seorang Sukarno jatuh hati kepada Hartini pada pandangan pertama, dan itu pula yang diakui oleh Sukarno di kemudian hari dalam surat-surat cintanya untuk Hartini. 


Setelah pertemuan pandangan pertama antara Bung Karno dan Hartini di rumah Walikota Salatiga.Bung Karno mulai merasakan kehampaan dalam ruang hatinya. Acara-acara kepresidenan pun hanya menyisakan satu ruang kosong di ruang pikirnya, ia merasa ada yang tertinggal di Salatiga. Kenangan akan sosok perempuan yang jago masak sayur lodeh terus mengganggu pikirannya. 


Bahkan  sesampainya Presiden dan rombongan di Jakarta, bayang-bayang wajah ayu dan senyum manis Hartini selalu bersemayam dan menghiasi lamunan-lamunan Bung Karno. Untuk mengusir rasa 'galau' itu, Bung Karno segera mengambil secarik kertas lalu memungut pena dan menulis sebaris kata, untaian kata-kata cinta yang kelak tercatat dalam sejarah cinta Bung Karno dan Hartini sebagai 'surat cinta yang pertama'.


"Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimua. Ini adalah takdir." 

 
Hanya itulah untaian kata yang dititipkan Bung Karno pada seseorang untuk disampaikan kepada Hartini yang berada nun jauh di Salatiga.  Mendapat surat cinta dari seorang presiden yang dicintai banyak rakyatnya, terang saja membuat Hartini galau bukan kepalang. Apalagi, selanjutnya datang lagi telegram-telegram dan surat-surat bernada cinta yang diterimanya. Kalau saja, teknologi sms sudah ada pada saat itu, tentulah akan habis pulsa dipakai untuk merayu sang pujaan. 


"Ketika aku melihatmua untuk yang pertama, hatiku bergetas. Mungkin kau pun mempunyai perasaan yang sama. Ttd: ... SRIHANA" . Itulah isi salah satu surat yang diterima oleh Hartini. SRIHANA sendiri merupakan nama samaran Bung Karno yang juga memberi nama samaran pada Hartini dengan sebutan SRIHANI. Alhasil, surat-surat berikutnya mengalir dengan menggunakan nama SRIHANA-SRIHANI.


Pada tahun 1953, terjadi pertemuan kedua antara Bung Karno dengan Hartini yang bertempat di Candi Prambanan. Di tempat itu, berbagai kata-kata puitis mengalir dari mulut Bung Karno untuk menebarkan jala cinta pada Hartini yang tampaknya mulai gundah-gulana. 


Bahkan pada waktu Bung Karno melamarnya untuk bersedia dijadikan istri kedua, Hartini tidak serta merta memberikan jawabannya. Sampai Bung Karno harus mengulangi lagi permintaannya tersebut namun Hartini masih belum bersedia, dan sekali lagi .. tetap saja Hartini masih enggan memberi keputusan. 


Hartini yang adalah seorang janda berusia 28 tahun yang memiliki paras nan ayu dan mempesona, sangat mungkin masih mendambakan hadirnya seorang pria. Namun, Hartini sama sekali tidak pernah menduga kalau pria tersebut adalah seorang Presiden. Dan ia juga tidak pernah menyangka kalau pria yang dimaksud tersebut telah memiliki seorang first lady yaitu, Fatmawati. 


Dengan pikiran yang berkecamuk bercampur galau dan rasa gundah gulana, Hartini hanya bisa mengadu pada kedua orangtuanya, Bapak Osan Murawi dan Mbok Mairah. Orangtuanya menjawab pertimbangan putrinya itu dengan berkata, "Dimadu itu abot (berat), biarpun oleh raja atau presiden. Opo kowe kuat? Tanyakan hatimu, apapun keputusanmu kami memberikan restu." 


Satu tahun berjalan, hubungan cinta antara Bung Karno dan Hartini masih sebatas melalui surat menyurat dan beberapa kali pertemuan. Sampai akhirnya, hartini pun takluk dan bersedia menerima pinangan sang Presiden, dengan segala konsekuensi yang telah dipikirkannya masak-masak. 


Hartina memberikan jawaban, "Ya.. dalem bersedia menjadi istri Nandalem, tapi dengan syarat, Ibu Fat tetap first lady, saya istri kedua. Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita." 


Sungguh suatu pribadi yang sangat luhur , dan pada tanggal 7 Juli 1954 mereka pun menikah di Istana Cipanas. Namun sayang, first lady, Fatmawati tampaknya tidak mau diduakan. Meski ia mengabulkan keinginan Bung Karno untuk menikah lagi namun ia kemudian meninggalkan Istana Negara dan Bung Karno, lalu menetap di bilangan Jl. Sriwijaya, Kebayoran Baru. 


Sejak saat itu, Bung Karno tidak pernah lagi berjumpa dengan istri pertamanya, meski beragam upaya telah dilakukan baik oleh putra-putri dan juga ajudannya untuk mengembalikan Fatmawati ke Istana.  Sakit hatinya Fatmawati kepada Hartini sempat menjalar pada anak-anaknya, yaitu Guntur, Mega, Rachma, Sukma dan Guruh. 


Begitulah hidup, sampai Bung Karno dilengserkan hingga ditelantarkan lalu sakit-sakitan, Fatmawati tidak ada untuk mendampinginya. Terlebih pada masa-masa akhir hidupnya, Bung Karno selalu berada di Bogor di bawah perawatan dan pelayanan setia dari Hartini. 




Bahkan sampai Bung Karno kemudian dipindahkan ke Wisma Yaso setelah melalui serangkaian permohonan ke Soeharto, Hartini pula yang terus setia mendampingi beliau. Satu-satunya anak Bung Karno dari Fatmawati yang rajin mengunjungi bapaknya adalah Rachmawati. Dan dari seringnya Rachmawati bertemu Hartini, perlahan rasa benci itu pun terusir. Keduanya menjadi akrab, meski untuk tujuan menyenangkan bapaknya yang sakit parah. Sampai hari itu, Fatmawati masih belum tergerak hatinya untuk menengok sang suami. Bahkan bujukan putra-putrinya pun selalu ditolaknya, "Ibu tidak mau, di sana ada Hartini!".  Padahal kepada Hartinia, dan juga kepada anak-anaknya, Bung Karno selalu menyampaikan rasa rindunya ingin berjumpa Fatmawati, namun sayang gayung tak bersambut.  


Petemuan Bung Karno dengan Fatmawati terjadi pada tahun 1969 ,pada waktu pernikahan Rachmawati. Oleh Soeharto, Bung Karno diberi izin menghadiri pernikahan putrinya itu, meski dengan kawalan ketat dari sejumlah pasukan tentara bersenjata lengkap. Hmm,sungguh ketakutan yang tidak beralasan pada seorang mantan presiden yang sudah lapuk oleh usia dan penyakit. 


Pada waktu melihat Bung Karno, Fatmawati dengan segala rasa dalam hatinya antara marah, rindu dan cinta segera menghambur menjemput sang suami, ia memeluk, mencium dan memapahnya meski untuk melakukan hal itu ia harus nekat menerobos pasukan dan pengawalan yang super ketat. 


Bisa dibayangkan betapa bahagianya Sukarno yang telah dipertemukan kembali dengan istri pertamanya yang meninggalkannya selama 15 tahun lamanya. Namun kebahagian itu tidak berlangsung lama, karena rezim Soeharto waktu itu tidak ingin melihat Bung Karno merasa 'bahagia". Tak pelak, belum tuntas suasana haru biru terebut berlangsung, para pengawal segera menyingkirkan Fatmawati dari sisinya, dan secara mengucilkan Bung Karno dari para tamu. 


Akhirnya, Bung Karno kembali bersama Hartini, sampai akhir hayatnya . Bagi banyak kalangan, sosok Hartini dianggap sebagai lambang perempuan Jawa yang setia, nrimo dan penuh bakti terhadap guru laki. Pda tanggal 12 Maret 2002, Hartini meninggal dunia di Jakarta dan meninggalkan 6 orang anak yaitu Bayu Soekarnoputra dan Taufan Soekarnoputra ( keduanya dari Bung Karno), serta Herwindo, Triherwanto, Sriwulandarai, Riswulan, dan Sri Hariswati ( Dari Soeswondo).