Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makna dan tradisi memperlakukan ari-ari bayi yang baru lahir

Indonesia adalah negara kepulauan yang masing-masing memiliki adat dan budayanya sendiri termasuk dalam merawat ari-ari pada waktu kelahiran bayi. Pulau Jawa sendiri memiliki beberapa budaya yang berbeda-beda dalam menangani ari-ari bayi yang baru lahir ini ada yang langsung dimasukkan dalam kendi yang terbuat dari tanah liat lalu dikubur di rumah orang tuanya , ada yang digantung pada tiang melintang yang ada di dapur atau ruang tengah, bahkan ada juga yang dihanyutkan ke sungai atau laut. 




Semua perbedaan tersebut mencerminkan betapa masyarakat kita kaya akan budaya, meski begitu ada persamaan pada dalam perlakuan terhadap ari-ari bayi tersebut, yaitu mencuci dengan air bersih lalu dimasukkan ke dalam kendi/bejana tanah liat yang kemudian disertakan pula kedalamnya "uba -rampe".  

Dalam versi Jawa, cara-cara detail mengenai perlakuan terhadap ari-ari bayi yang baru lahir diuraikan sebuah kidungan yaitu: 

Kidungan Pangruktining Ari-Ari

(1) Bebukane golong-galing kaki (utawa : nini), putu banteng Wulung. Kaki Among Nini Among kiye, lah tunggunen gusti arsa guling, sira sun opahi striya mujung.

(2) Kakang Kawah Adi Ari-ari payo pada nglumpuk.
mBok Nirbiyah lan Diah den age, batok bolu lan uyah ywa kari, lan arta rong duwit, dome aja kantun.

(3) Beras abang lawan lenga wangi, miwah gantal loro.
Tetulisan Arab lan Jarwane, den lebokken ing kendil tumuli, nganggo lawon putih, karya lemek iku.

Tiga bait syair Kidungan di atas menggambarkan perlengkapan apa saja yang harus disertakan dalam kendi/bejana tanah liat bersama-sama dengan ari-ari sang bayi, yaitu:
  • Garam
  • Uang sepasang
  • Jarum yang tajam 
  • Beras merah
  • Gantal (Sirih yang digulung dan diikat) dua ikat
  • Kertas yang bertuliskan tulisan Arab, Latin, dan Jawa 

Namun sebelumnya harus dipersiapkan dahulu kain mori putih secukupnya yang akan digunakan sebagai alas ari-ari atau tembuni dan juga perlengkapan yang dibutuhkan. Setelah itu siramkan minyak wangi secukupnya, dan kain putih itu pun ditangkupkan dengan rapih dari ujung ke ujung kemudian bejana/kendi ditutup. 


Makna dari pemberian perlengkapan tersebut adalah sebagai berikut:  
  • Garam bermakna sebagai simbol kehidupan agar nantinya jika si anak tersebut dewasa ia akan mampu "menggarami" dunia atau "memberi rasa" pada dunia agar menjadi tempat yang nyaman bagi siapa saja yang berhubungan dengannya, seperti kita tahu garam sering dipakai untuk menambah kelezatan dari makanan yang terlalu hambar.  
  • Uang bermakna sebagai harapan agar nantinya si anak tersebut setelah dewasa ia tidak akan mengalami kekurangan dalam hal materi, uang yang disertakan itu berjumlah sepasang yang berarti agar dalam mencari materi ia tetap menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang ada disekelilingnya, dan tidak melupakan untuk bersedekah.
  • Jarum dengan ujung yang tajam bermakna agar si anak memiliki pikiran yang tajam sehingga bisa berhati-hati dalam bertindak.
  • Beras merah bermakna agar si anak tersebut setelah dewasa tidak pernah kekurangan pangan. Dipilihnya beras merah adalah agar apa yang dimakan akan memberikan kekuatan dan kesehatan yang baik si anak tersebut, selain itu menggambarkan kejujuran dalam berusaha, dan lambang keterikatan dalam keluarga. Dalam budaya Jawa warna merah berarti sisi keduniawian dari kehidupan.
    Kertas yang bertuliskan huruf Arab, Jawa, dan Latin bermakna agar sang anak nantinya akan menjadi anak yang beragama dan cerdas. 
  • Gantal atau sirih bermakna agar anak tersebut bisa tumbuh sehat, sedangkan ikatan tersebut mengandung harapan agar si anak mendapatkan pasangan atau jodoh yang tepat.
Kesemua perlengkapan tersebut diletakkan dalam mori putih yang berarti kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segara doa-doa dan harapan yang berkaitan serta atas segala upaya yang telah dilakukan oleh orangtua dalam merawat si anak.



Selain dari perlengkapan tersebut, ada lanjutan dari Kidungan di atas yang menggambarkan perilaku dalam merawat ari-ari bayi tersebut. 


(4) Kutu-kutu walang ataga sami, bareng laringong.
Kang gumremet kang kumelip kabeh, lah tunggunen gusti arsa guling sira sun opahi, jenang sungsum telu.

(5) Dandanane saking suwarga di, batok isi konyoh.
Batok tasik tapel lan pupuke, ana nggawa bokor lawan kendi, ana nggawa maning kebut wiyah payung.

(6) Widadari gumrubyung nekani pra samya amomong ana ngreksa in kanan kering.
Ana nggawa kasur lawan guling kajang sirah adi, kemul sutra alus.

(7) Benjang lamun bayi neka nangis, ingembana gupoh.
Marang latar pojok lor prenahe, pra leluhur rawuh anyuwuki, meneng aja nangis, jabang bayi turu.

Bait 4, menyatakan agar si Orang Tua membuat bubur sumsum sebagai sarana penolak segala penyakit dan bahaya. Kemudian di saat akan menananam kendil berisi tembuni, Bapak dan Ibu harus berdandan rapi seperti akan pergi ke pesta. Kendil di gendong menggunakan selendang, dan dilambari kasur kecil lengkap dengan bantal dan gulingnya, serta diselimuti sutra halus. Sang Ayah berdiri di sampingnya sambil memayungi Sang Ibu yang menggendong kendil berisi tembuni, di tangan satunya membawa kebutan.

Kendi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sebuah lubang di tanah yang sebelumnya telah dipersiapkan, lalu ditimbun dengan rapih. Jika kegelapan telah muncul (malam hari) maka diatas timbunannya itu harus selalu diterangi dengan lampu, jika menggunakan lampu minyak maka agar tidak mudah tertiup angin lampu tersebut ditutupi dengan kendi yang dibalik yang telah dilubangi bagian dasarnya.  Lamanya pemasangan lampu (senthir) ini umumnya dilakukan selama 35 hari atau selama 3 bulan.

Bait terakhir mengatakan jika sang bayi terus menerus menangis, maka orangtuanya harus menggendong bayinya itu ke pojokan utara dari pekarangan rumahnya, dengan tujuan agar para leluhur datang untuk menghibur bayi yang rewel itu agar menjadi tenang.

Semoga menambah pengetahuan