Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rampogan : Gladiator versi Indonesia yang sudah punah

Tahukah anda kalau atraksi adu kekuatan seperti gladiator sebenarnya sudah dilakukan di Indonesia sejak jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda ? Di daerah Jawa pada tempo dulu terdapat sebuah tradisi yang menjadi hiburan tersendiri badi penguasa setempat waktu itu. 

Tradisi tersebut dikenal dengan Rampogan Macan atau sering disebut dengan Rampogan atau Rampokan. Rampogan ini kemungkinan berasal dari kata Rampog yang sering diartikan sebagai “rayahan” atau “rebutan” dimana ratusan orang berebut untuk membunuh harimau atau macan menggunakan tombak. 

Antara macan dan harimau memang orang Jawa sering salah menyebut keduanya adalah sama walau sebenarnya adalah hewan yang berbeda

Awal pertama kali diadakannya Rampogan ini tidak jelas sejak kapan, ada yang memperkirakan sudah sejak zaman hindu budha. Namun yang pasti acara ini menjadi begitu dikenal dan sering diselenggarakan pada abad 18 – 19. 

Pada awalnya sering dilakukan di Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta dan merupakan tradisi para ningrat. Di Kesunanan Surakarta nampaknya sudah mulai ada sejak jaman Amangkurat II. Acara di laksanakan di alun – alun utara yang biasanya diadakan untuk menyambut tamu agung. 

Tamu agung ini biasanya adalah para pembesar dari penjajah Belanda seperti Gubernur Jenderal. Pada awalnya yang sering diadu dalam Rampogan Macan ini adalah Macan dengan Banteng.

Gladiator Indonesia Rampogan Macan
Rampogan di Alun - alun Kraton Surakarta, 1865
Tampak Sultan bersama Gubernur Jendral duduk bersama di Pagelaran
Tercatat ialah Paku Buwono X yang sangat gemar mengadakan acara Rampogan Macan ini. Macan dan hewan – hewan liar lainnya memang sengaja dipelihara dalam kandang – kandang di sudut alun – alun. Hewan liar ini adalah hasil buruan atau tangkapan dan nantinya akan dipagelarkan dalam acara Rampogan. 




Acara biasanya mulai dilaksanakan pada pagi hari dan puncak acara berupa pertarungan antara Macan dan Banteng pada siang hari. Awal acara pada pagi harinya setelah para pembesar datang dan berkumpul maka para prajurit bersiap – siap di tengah alun – alun dengan membentuk formasi mengelilingi arena pertarungan. 

Para prajurit lengkap dengan baju perangnya dengan tombak yang panjang berbaris dalam 4 - 5 lapis barisan secara rapat. Para pembesar menyaksikan dari sebuah panggung yang dinamakan pagelaran. Biasanya Sultan atau Sunan akan duduk berdampingan dengan Gubernur Jenderal. Sedang masyarakat jelata dari berbagai lapisan dan etnis menonton berdesakan diluar arena dengan terkadang sampai menaiki pohon – pohon agar dapat leluasa menyaksikan pertarungan. 

Rampogan Macan
Rampogan di Alun - alun Kraton Surakarta, 1865
 Setelah semuanya siap maka kandang macan akan ditaruh di tengah arena dan seorang abdi dalem yang pemberani seraya berjoget (tayungan) akan menghampiri dan menaiki kandang serta membuka tutup kandang. Terkadang setelah kandang dibuka tidak serta merta sang macan akan segera mengamuk memasuki arena. 

Tak jarang sang macan malah bermalasan – malasan atau terheran – heran karena cahaya yang menyilaukan dan banyaknya manusia. Oleh karena itu biasanya prajurit akan menakut – nakutinya dengan api, tusukan tombak dan berbagai cara agar macan mengamuk. Begitu pula dengan banteng yang digiring ke alun – alun, agar ia mau mengamuk biasanya diberi dengan air campuran cabe rawit agar badannya kepanasan dan mengamuk.

Banteng yang gerakkannya kurang gesit dibanding macan ini biasanya malah lebih sering memenangkan pertarungan karena badannya yang lebih besar dan tanduk banteng biasanya dikerik lebih dahulu sehingga menjadi sangat runcing. 


Tak jarang pula sang macan dapat memenangkan pertarungan walau dengan luka – luka yang dideritanya. Walau begitu nasib sang macan akan sama saja pada akhirnya.

Rampogan Macan
Rampogan di Alun - alun Kediri, 1885


Akhir hidup sang harimau, mati dengan luka - luka tusukan

 
Macan yang masih hidup akan di bunuh beramai – ramai dengan cara ditombak oleh prajurit yang ada. Macan yang berlari kesana kemari akan terus ditombak dari segala penjuru sampai akhirnya kelelahan dan kehabisan darah lantas mati. Namun tidak jarang sang macan dapat menembus barikade prajurit lantas lari keluar dari arena. 


Walau nampak menegangkan namun inilah momen yang sering dinanti. Macan yang lari ini tidak jelas akan menuju kemana dan para penonton akan ketakutan tunggang langgang berlarian kesegala penjuru. Para prajurit yang pemberani akan terus mengejar sampai dapat dan biasanya macan memang pasti menemui ajalnya. Inilah puncak acara Rampogan Macan dimana banyak terdapat simbolisasi dalam acara ini.   


Hasil akhir rampogan : Sang Juara yang terbunuh
 Simbolisasi memang sesuatu hal yang sangat akrab dilakoni oleh orang Jawa. Simbolisasi ini pula yang dapat melanggengkan hegemoni kekuasan pihak kerajaan. Macan yang mati terluka dengan ribuan hujaman tombak sering digunakan sebagai penggambaran tokoh pewayangan Abimanyu ketika menjadi Senapati saat Perang Baratayuda Jayabinangun, saat dikeroyok para Kurawa dan akhirnya gugur dengan terluka parah. 

Urutan acara yang dibuat sedemikian rupa juga sering diluputi hal magis juga membuat sekat – sekat keagungan dari sebuah kekuasaan Sultan yang memunyai batas dengan rakyatnya. Acara pagelaran macan ini juga ingin menunjukkan bahwa adanya kemurahan hati dari Sultan bahawa macan yang buas ini dapat ditundukkan oleh kekuasaannya dan masyarakat jelata boleh melihatnya secara langsung dan beramai – ramai.

Namun ada pula yang menyebutkan bahwa macan mempresentasikan kekuasaan kolonial Belanda dan Banteng adalah bangsa pribumi. Oleh karena tunduknya kekuasaan pribumi terhadap penjajah maka perasaan emosional ini dilampiaskan dalam bentuk Rampogan Macan dimana diharapkan banteng akan menjadi pemenang seperti biasanya dan macan yang buas akan ditumpas bersama -  sama. Walau memang sebenarnya pertarungan hewan liar ini ada banyak macamnya. 


 
Rampogan Macan di Alun - alun Tulungagung, 1901
Seperti disebutkan diatas bahwa Rampogan Macan adalah tradisi para ningrat yang biasanya dilaksanakan oleh perintah Sultan maka di Jawa Timur pada akhir abad ke 19 hal ini banyak dilakukan di alun – alun kadipaten (kabupaten) yang diselenggarakan oleh para bupati. Rampogan Macan pada masa itu didaerah Jawa Timur nampaknya lebih banyak merupakan pembantaian terhadap macan ketimbang pertarungan antara macan dan banteng.
 

Rampogan macan di Kediri 1885

 Tercatat kota Kediri dan Blitar yang paling sering mengadakan acara ini walau di kabupaten lain juga pernah mengadakannya. Disini walau sebagian besar acara adalah sama seperti yang diadakan di Alun – alun Kraton namun bukan prajurit yang berhadapan dengan sang macan namun para pemberani dari berbagai kalangan baik priyayi maupun pembesar seperti lurah, demang, bekel dan lain – lain. 

Yang duduk dipanggung adalah Bupati dan Residen (pihak belanda). Acara biasanya dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal atau orang Jawa menyebutnya Bakda. 

Disini macan biasanya bukan merupakan peliharaan sang Bupati namun lebih merupakan tangkapan para penduduk yang sering mengganggu atau memang sengaja dipersiapkan untuk acara ini. Biasanya pada bulan puasa para penduduk beramai – ramai menjebak harimau bila tidak memiliki tangkapan sebelumnya.

Kandang – kandang macan disini lebih rumit dalam hal pembuatannya dan cara membukanya. Kandang biasanya terbuat dari pohon aren dan ketika diletakkan di tengah alun – alun memiliki semacam tali yang bila ditarik akan langsung membuat kandang itu terbuka berantakan. 


Namun sebelumnya terdapat pengunci yang dibuka oleh seorang kepala desa yang disebut Gandek. Ia beraksi selayaknya abdi dalem di acara Rampogan ala Kraton.

 
Rampogan Macan di Alun - alun Blitar, 1880



Puncak acara adalah sama seperti acara di alun – alun Kraton namun uniknya adalah para penombak adalah orang – orang yang kurang terlatih tidak seperti prajurit kraton. Sehingga banyak juga yang lari ketakutan atau ketika sudah berhadapan maka tidak banyak berbuat apa – apa. 

Seringkali mereka lebih banyak mengedepankan alasan magis dimana tombak mereka kalah pamor dengan sang macan. Tombak yang biasanya juga merupakan senjata pusaka setelah keris ini lantas dijual atau digadaikan bila dirasa memalukan saat acara Rampogan.

Acara yang dilaksanakan di kadipaten lebih bermakna ruwatan atau mengusir roh jahat. Dimana harimau dijadikan perlambang roh jahat yang mati dan hilang diusir beramai – ramai lewat pembantaian.

Acara ini lantas tidak pernah lagi dilakukan oleh karena dua hal. 

  • Pertama, populasi harimau dan macan Jawa yang semakin menyusut tajam.  
  • Kedua, pemerintah Belanda akhirnya melarang acara ini pada tahun 1905. 
Saat ini tradisi Rampogan Macan memang sudah tidak pernah dapat disaksikan lagi dan hanya dapat disaksikan dalam lakon pewayangan. 

Harimau Jawa pun sudah punah sejak tahun 1980-an dan dinyatakan secara resmi punah pada 1996 dengan habitat terakhir di Taman Nasional Meru Betiri di Jember. 

Harimau Jawa yang terkana jebakan

Walau kadang banyak masyarakat mengatakan sering melihat jejak dan penampakannya didaerah hutan – hutan gunung di pulau Jawa. 

Nampaknya masyarakat terkecoh dengan saudara harimau jawa (Panthera tigris sondaica) yaitu macan seperti macan kumbang atau tutul (Panthera pardus melas) yang sebenarnya juga sangat – sangat jarang terlihat bila tidak dikatakan punah. 

Penangkapan harimau Jawa di Banten, 1910
Selain tradisi Rampogan Macan, memang harimau jawa punah karena perburuan  besar – besaran dimana tidak adanya aturan yang melindungi perburuan serta makin terdesaknya habitat harimau yang sebenarnya merupakan binatang penjelajah.