Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masjid Wapawue dengan keajaibannya

Masjid yang dibangun sejak tahun 1414 M ini merupakan salah satu bangunan masjid tertua yang berada di Maluku. Bukan sekedar tua saja, masjid Wapawue ini juga dikenal memiliki sejarah dan kisau-kisah unik yang diliputi oleh berbagai keajaiban.
Dari segi arsitekturnya, bisa jadi inilah satu-satunya masjid yang terbuat dari pelepah sagu dan dipertahankan keasliannya selama berabad-abad. 


 Berdiri di atas sebidang tanah yang oleh warga setempat diberi nama Teon Samaiha. Letaknya di antara pemukiman penduduk Kaitetu. Konstruksi dindingnya menggunakan gaba-gaba  atau pelepah sagu yang kering, dan hingga sekrang masih berfungsi dengan baik sebagai tempat beridabah seperti shalat, meskipun beberapa masjid baru sudah dibangun di desa tersebut.

Bangunan induk Masjid Wapauwe hanya berukuran 10 x 10 meter, sedangkan bangunan tambahan yang merupakan serambi berukuran 6,35 x 4,75 meter. Tipologi bangunannya berbentuk empat bujur sangkar.



Dalam masjid ini tersimpan Mushaf Alquran yang konon termasuk tertua di Indonesia. Yang tertua adalah Mushaf Imam Muhammad Arikulapessy yang selesai ditulis (tangan) pada tahun 1550 dan tanpa iluminasi (hiasan pinggir). Sedangkan Mushaf lainnya adalah Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis pada tahun 1590, dan juga tanpa iluminasi serta ditulis tangan pada kertas produk Eropa.

Lalu, apa sajakan kisah unik dan keajaiban yang melingkupi masjid ini ? Boleh percaya boleh tidak, mari kita simak beberapa keajaibannya disini.

1. Masjid yang pindah sendiri

Mulanya masjid ini bernama Masjid Wawane karena dibangun di Lereng Gunung Wawane oleh Pernada Jamilu, keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloku Kie Raha (Maluku Utara). Jadi bukan di Kaitetu.

Jamilu datang ke tanah Hitu sekitar tahun 1400 M untuk menyebarkan ajaran Islam pada lima negeri di sekitar pegunungan Wawane, yakni Assen, Wawane, Atetu, Tehala dan Nukuhaly.

Ketika VOC menguasai bumi rempah-rempah Maluku, Belanda mengganggu kedamaian penduduk lima kampung yang telah menganut ajaran Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari. Belanda kemudian melakukan proses penurunan penduduk dari daerah pegunungan tidak terkecuali penduduk kelima negeri tadi. Merasa tidak aman dengan ulah Belanda, Masjid Wawane dipindahkan pada tahun 1614 ke Kampung Tehala yang berjarak 6 km sebelah timur Wawane.



Ada sebuah hikayat yang kemudian diceritakan dari generasi ke generasi... dikisahkan ketika masyarakat Tehala, Atetu dan Nukuhaly turun ke pesisir pantai dan bergabung menjadi negeri Kaitetu, Masjid Wapauwe masih berada di dataran Tehala.

Namun pada suatu pagi, ketika masyarakat bangun dari tidurnya masjid secara gaib telah berada di tengah-tengah pemukiman penduduk di tanah Teon Samaiha, lengkap dengan segala kelengkapannya.

"Menurut kepercayaan kami (masyarakat Kaitetu) masjid ini berpindah secara gaib. Karena menurut cerita orang tua-tua kami, saat masyarakat bangun pagi ternyata masjid sudah ada," kata Ain Nukuhaly, warga Kaitetu.


2. Dedaunan tak berani

Seperti dikisahkan sebelumnya, masjid yang awalnya bernama Wawane ini kemudian berganti nama menjadi Wapawue. Tempat masjid ini berada di daerah yang banyak tumbuh pepohonan mangga hutan atau mangga berabu. Dalam bahasa Kaitetu disebut "Wapa". Karena itulah, Wapawue berarti "masjid yang didirikan di bawah pohon mangga berabu."

Ada keanehan yang selalu terjadi. Jika ada daun dari pepohonan di sekitar tempat itu gugur, secara ajaib tak satupun daun yang jatuh di atasnya.

3. Tak bisa hancur?

 


Masjid Wapawue berada di antara situs-situs bersejarah, antara lain benteng tua "New Amsterdam" dan gereja tua peninggalan Portugis dan Belanda.

Saat kerusuhan di Ambon meletus tahun 1999, banyak bangunan hancur karena konflik agama tersebut. Termasuk gereja tua tadi. Sementara Masjid Wapawue tetap berdiri kokoh tanpa ada gangguan sama sekali, padahal letaknya hanya sekitar 150 meter dari gereja tua dan benteng bersejarah.


Sumber