Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah dibalik foto pelukan Bung Karno dan Soedirman

Sewaktu Belanda menurunkan ribuan pasukannya ke Jogja pada Desember 1948, saat itu terjadi pertengkaran kecil antara Bung Karno dengan Jenderal Soedirman. Pada saat itu Bung Karno lebih memilih ditawan oleh Belanda untuk memancing kemarahan dunia Internasional, tetapi Jenderal Soedirman memiliki pemikiran yang lain yang saat itu sang Jenderal tengah terpengaruh oleh pemikiran ' TOTAL WAR ' atau ' Perang Total " dari Tan Malaka yang menghendaki Bung Karno ikut bersama mereka masuk hutan dan melakukan perang gerilya. Bung Karno menolak rencana tersebut karena beranggapan kalau ikut gerilya pasti akan tertangkap juga, selain itu juga karena dirinya sudah memiliki prinsip dimana Soekarno akan selalu ada ditengah mata rakyatnya dan mata dunia sehingga ' ia tidak boleh menghilang'. 


Selain hal tersebut, Pulau Jawa dikelilingi oleh samudera tidak seperti halnya dengan Cina daratan yang mudah melakukan gerilya sehingga kalau terserang mereka bisa melarikan diri ke India atau Uni Sovyet, Nah kalau di Jawa untuk melarikan diri keperbatasan ya nyemplung ke laut, begitulah pemikiran Bung Karno pada waktu itu saat menolak ajakan Jenderal Soedirman.

Jenderal Soedirman yang masih hijau politiknya dan agak tak mengerti 'taktik' politik Bung Karno marah besar. Ia merasa pemimpin di Yogyakarta merusak kepercayaan rakyat. Disinilah aroma perpecahan terjadi.





Tapi ternyata dibuktikan apa omongan Sukarno benar, di PBB Belanda dikeroyok habis negara-negara yang mendukung Indonesia. Nehru sampai menggebrak meja podium berkali-kali dan berteriak pada delegasi Belanda, di Australia kaum buruh mogok total, pelabuhan-pelabuhan di boikot. 

Di New York sebarisan kaum buruh berdemo meminta Indonesia dibebaskan dari Belanda. Sementara pejabat AS sudah mengantongi surat dukungan Presiden AS untuk membela Indonesia dari Belanda, pesannya singkat "kita dukung Indonesia, jangan sampai keduluan Stalin"

Belanda akhirnya dipaksa mundur, Amerika Serikat mengancam akan menutup dompet Marshall dan tidak mau bantu Belanda lagi apabila dana pajak orang Amerika dipakai untuk beli Mitraliyur NICA, akhirnya Belanda menyerah, agar tak kehilangan muka di antara negara-negara lain, Belanda minta ganti rugi dan Irian Barat tetap dijadikan negara koloni sampai pada waktunya nanti diserahkan pada Indonesia.

Sukarno menang, tapi tidak bagi Sudirman. Ia masih marah. Akhirnya Sukarno memanggil Rosihan Anwar untuk menjemput Sudirman di hutan, sebelumnya beberapa surat sudah dilayangkan ke Sudirman sampai terakhir surat dari Sultan Hamengkubuwono IX, tapi Sudirman masih saja kepala batu. Sukarno tak hilang akal, dipakailah anak buah kesayangan Sudirman yaitu : Letkol Suharto untuk jemput Sudirman.

Pak Dirman senang dengan Letkol Suharto karena cara Jawa-nya yang amat halus. Tidak seperti serdadu revolusioner yang lain dengan gaya kebarat-baratan dan agak urakan, Suharto sangat mriyayeni, sangat halus tutur katanya. Inilah yang bikin Sudirman suka, setiap ucapan Suharto kepada Pak Dirman selalu didahului :Nyuwun Duko (minta dimarahi). Taktik Sukarno benar dengan menyuruh Letkol Suharto, Dirman menurut.

Rosihan Anwar membawa Frans Mendur, ahli potret dari IPPHOS. Juga tukang potret kesayangan Bung Karno. "Nanti kalo Dirman datang, kamu potret yang bagus" kata Bung Karno. Frans Mendur mengangguk.

Lalu datanglah Sudirman ke Gedung Agung, tempat tinggal Bung Karno. Dirman berdiri saja di pojokan, ia kaku, perasaannya masih marah. Tapi bukan Sukarno namanya yang mampu mencairkan suasana, ia mampu membuat Dirman tertunduk dan merasa hormat pada Sukarno yang lagak lagunya seperti bintang Tonil tahun 1930-an.

Sukarno datang sendiri ke Dirman dan memeluknya, tapi Dirman masih kaku, setelah memeluk Sudirman, Bung Karno melihat ke arah Frans Mendur dan berkata cepat "Dapet nggak sentuhannya?"

Frans Mendur menggeleng dan menyahut "Terlalu cepat"

"Ya udah diulang lagi, adegan zoetnjes-nya" (zoentjes =ciuman)...
kata Bung Karno, lalu Bung Karno memanggil Sudirman agar mendekat. "Ayo supaya lebih dramatik" entah kenapa Dirman menurut saja bagai bintang iklan yang sedang disuruh sutradara.

Akhirnya momen pelukan Bung Karno dan Pak Dirman jadi foto paling terkenal sebagai 'Foto penutup perang Revolusi 1945-1949'.


Foto bersejarah Bung Karno memeluk Jenderal Soedirman

Taktik kamera Bung Karno ini untuk menunjukkan pada dunia bahwa tak ada isu kudeta militer yang akan memberontak pada pemerintah karena penolakan KMB 1949, sekaligus menunjukkan pada pasukan mbalelo penolak KMB yang masih di hutan bahwa militer sudah bersatu dengan pemerintah dibawah komando Sukarno dengan perasaan haru.

Sukarno mampu secara efektif menggerakkan sebuah gambar sebagai bagian penggerakkan alam pikiran bahwa sadar psikologi massa. Karena bagaimanapun sejak masih di HBS (sekarang SMA) Sukarno adalah seorang sutradara, lakon pentas pertama kali yang ia bawakan adalah lakon komedi. Andai Bung Karno nggak diajarin politik sama Tjokroaminoto mungkin Bung Karno akan bekerja sebagai fotografer atau sutradara film. 


Sumber dan Referensi : Blog Kompas