Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nasib orang-orang Eropa di masa pendudukan Jepang

Setelah kedatangan Jepang yang langsung mengambil alih kekuasaan Hindia Belanda dari pemerintah kerajaan Belanda, kehidupan orang-orang Eropa di negara bekas jajahannya itu berubah drastis.

Semua pria keturunan Eropa yang berumur di atas 12 tahun dikirim ke kamp-kamp tawanan perang, meninggalkan keluarga, istri atau anak-anak mereka di rumah.

Penjaga di kamp Tjideng, Batavia




Tidak butuh waktu lama, beberapa kamp konsentrasi mulai dibangun di beberapa tempat di Batavia untuk melokalisir keluarga Eropa agar lebih mudah diawasi. Tiga kamp yang paling terkenal pada saat itu adalah kamp Kramat, kamp Tjideng dan kamp Grogol. Semua perempuan dan anak-anak dipindahkan ke sana dengan membawa sedikt barang-barang milik mereka.

Pada mulanya kamp-kamp tersebut diawasi oleh sipil dan kehidupan di dalam sana tidaknya begitu buruk. Para perempuan bisa melakukan beragam aktivitas mulai dari memasak, belanja sampai menghadiri misa di gereja. 


Namun ketika militer mengambil alih pengelolaan kamp-kamp tersebut, semua aktivitas mulai dibatasi. Setiap orang hanya mendapat jatah 25 sen setiap harinya dan semua makanan pun harus dimasak di sebuah dapur umum. 

Perempuan dan anak-anak di dalam kamp konsentrasi



Semakin lama kualitas makanan itu menurun drastis, kelaparan menjadi sesuatu yang biasa begitu pula penyakit dan kematian. Kehidupan orang-orang Eropa telah jauh berubah dibandingkan sebelum Jepang datang. Penderitaan para penghuni kamp dirasakan pula oleh Ralp Ockerse, seorang pria Belanda yang saat itu baru menginjak usia delapan tahun. Ralph menjalani hari-hari mereka di kamp Grogol bersama dengan ibu dan tiga saudaranya yang lain. Kisah hidup Ralph tertuang dalam tulisan pengalamannya berikut ini:

Pada bulan Juli 1943, tanpa diduga kami diperintahkan untuk meninggalkan kamp Kramat pada pukul delapan pagi, tepat di hari ultah pertama Gerritje. Kami bergabung dengan 100 perempuan dan anak-anak lainnya untuk dipindahkan ke kamp Grogol yang letaknya tak jauh dari Batavia. Pada saat itu, jumlah seluruh perempuan dan anak-anak yang tinggal di kamp Kramat mencapai 3.600 orang.

Pada hari sebelum kami dipindahkan, 800 perempuan dan anak-anak dari kamp Tjideng sudah tiba di Grogol. Jadi dengan 100 orang tawanan dari Kramat, jumlah tawanan yang dipindahkan ke Grogol menjadi 900 orang.

Karena kami harus berjalan kaki menuju stasiun Tjikini dengan dikawal polisi pribumi, kami hanya boleh membawa sedikit barang. Semua furnitur dan barang lain harus ditinggalkan di Kramat. Jadi, aku dan ibu harus mengangkut sebanyak mungkin barang yang bisa kami bawa dengan pikulan bambu, sedangkan Meis mendorong kereta bayi berisi kedua adik kami, Tommie dan Gerritje. Kereta bayi itu harus ditinggalkan sesampainya kami di stasiun.

Ketika kami berjalan keluar pintu gerbang di Radensaleh, banyak penghuni lain menangis karena sedih melihat kami harus pergi. Selama berjalan ke stasiun, jalan-jalan dipenuhi oleh warga pribumi. Ini adalah cara Jepang mempermalukan “bekas penjajah” dengan menyuruh mereka berbaris melewati orang Indonesia agar mereka dapat menyoraki kami. Tetapi bukan itu yang terjadi. Orang-orang Indonesia itu berdiri saja dalam diam, menunjukkan rasa simpati. Mereka yang melihat kami dari beranda rumah atau balik jendela tampak meneteskan airmata.

Kami diangkut ke Grogol dengan sebuah kereta barang sambil duduk di lantai gerbong. Perjalanan pendek dari Tjikini ke Grogol biasanya cuma memakan waktu 20 menit, tapi saat itu kami harus duduk berjam-jam karena kereta seringkali berhenti cukup lama. Ketika sampai stasiun tujuan, kami berjalan lagi ke kamp Grogol. Kamp ini sebetulnya merupakan pusat perawatan gangguan mental. Dulu kalau orang menyebut “Grogol”, yang dia maksud tentulah tempat ini. Gedungnya besar dengan banyak lorong dan kamar. Pagar bagian dalamnya terbuat dari bambu sedangkan pagar luarnya dari kawat berduri. Ruang di antara kedua pagar itu dijaga oleh para heiho, pemuda Indonesia yang direkrut Jepang untuk menjaga keamanan. Hanya ada satu pintu masuk ke kamp itu, yang di dekatnya berdiri sebuah rumah yang dihuni komandan dan serdadu Jepang.

Grogol akhirnya menjadi tempat tinggal kami selama lebih dari setahun. Kami berlima diberi sebuah kamar seluas 10×10 kaki, cukup besar untuk menaruh empat ranjang, boks bayi, meja kecil dan satu kursi. Inilah satu-satunya ruang pribadi tempat kami tidur dan makan selama hampir 13 bulan! Di depan kamar ada ruang terbuka menuju delapan kamar lain yang berderet. Kamar kami juga menghadap sebuah tanah lapang yang dipagari bambu dan kawat berduri. Semua kamar dan ruangan di gedung itu dibangun empat kaki di atas tanah. Ini penting karena sedikitnya setahun sekali air sungai meluap pada musim hujan dan menyebabkan banjir. Kami pernah mengalami hal ini sekali di Grogol dimana kamar dan ruangan terendam air yang tingginya lebih dari empat kaki. Air genangan itu berwarna coklat, penuh kotoran dan lumpur.

Semua makanan untuk penghuni kamp dimasak di dapur umum. Sesekali kami mendapat jatah beberapa butir telur. Untuk merebusnya saja memerlukan perjuangan. Kadang-kadang aku dan Meis berdiri dalam antrian yang panjang untuk mendapat giliran merebus telur dengan cara menaruhnya dalam sendok di atas uap air mendidih. Satu jam penantian adalah hal yang biasa. Seringkali telur-telur itu kurang masak karena tetesan uap air membuat kami sulit menyeimbangkan sendok sehingga perlu waktu lebih lama agar telurnya menjadi matang. Setelah kembali ke kamar, ibu menaruh isi telur itu dalam cangkir, menambahkan garam dan mengaduknya, lalu menyuapi Tommie dan Gerritje. Sesekali, ibu menghancurkan kulit telur sebagai campuran agar kami mendapatkan asupan kalsium.

Ketika waktu menunjukkan pukul setengah tujuh petang, ketika empat anaknya sudah berada di ranjang, ibu duduk di kursi kayu di depan kamar sambil melamun. Begitu juga dengan ibu-ibu lainnya di kamp itu. Kadang-kadang untuk melawan sepi mereka berbincang, tapi ibu lebih suka duduk diam sendirian. Sebetulnya ada alasan kenapa ibu tak suka berbincang dengan yang lain. Semua perempuan lain di ruang itu adalah istri-istri tentara berpangkat rendah (NCO, noncommissioned officers; sersan atau di bawahnya). Sedangkan pangkat ayah kami lebih tinggi dari suami-suami mereka dan ayah melarang ibu bergaul dengan istri-istri NCO. Tetapi kamp konsentrasi tidak diatur berdasarkan kelas sosial. Akhirnya, karena tetangga-tetangga kami sering mengajak ibu berkomunikasi, pelan-pelan dia menanggapi obrolan mereka bahkan akhirnya bersahabat.

Di luar pagar bambu yang mengelilingi kamp kami ada sebaris pohon kelapa. Saat malam hujan dan penuh petir, kadang-kadang sebutir kelapa jatuh ke dalam kamp. Siapa pun yang mendengar bunyi berdebum pasti akan buru-buru keluar kamar untuk mencari kelapa itu. Sayang, hal ini seringkali memicu keributan di antara mereka yang merasa berhak mendapatkan kelapa itu. Hanya sekali ibu beruntung ketika kami melihatnya masuk ke kamar sambil membawa sebutir kelapa. Blok kamar kami terletak dekat sudut gerbang kamp. Persis di luarnya ada sebotong pohon ketapang besar yang beberapa cabangnya masuk ke dalam kamp. Pohon ketapang mirip almond yang buahnya mengandung biji yang bisa dimakan. Kadang-kadang buahnya jatuh di dalam kamp dan memancing keributan sesama penghuni…


Dikutip dari buku “Our Childhood in the Former Colonial Dutch East Indies: Recollections Before and During Our Wartime Internment by the Japanese“ (2011) yang ditulis oleh Ralph Ockerse dan Evelijn Blaney.