Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asal mula PKL - Pedagang Kaki Lima

Keberadaan Pedagang Kaki Lima yang marak di berbagai kota-kota besar di Indonesia ternyata sudah ada sejak zamannya Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Jika merunut sejarah pada waktu itu, Raffles memerintahkan para pemilik gedung di jalan-jalan utama seperti di Batavia untuk menyediakan trotoar dengan lebar lima kaki yang dikhususkan untuk kenyamanan pejalan kaki. 




Menurut William Liddle dalam "Pedagang yang berkaki lima", saat bertugas di Singapura pada tahun 1819, Raffles menerapkan kembali kebijakkanya di Chinatown. Saat itu terjadi kesalahan penerjemahan, lima kaki atau five foot disalahmaknakan sebagai kata majemuk dalam bahasa Melayu yang berati kaki lima bukannya lima kaki (Mayapada, 15 Desember 1967).

Meski pada awalnya trotoar diperuntukkan para pejalan kaki, namun banyak pedagang turut memanfaatkan lahan yang cukup lebar tersebut, sehingga mereka pun dijuluki sebagai pedagang kaki lima. Istilah tersebut menjalar dari ke Medan hingga Jakarta, sampai akhirnya menyebar di semua kota-kota di Indonesia. 

Para pedagang pada masa itu menggelar barang-barang jualannya di daerah yang mereka anggap cukup strategis, yaitu yang banyak dilalui orang-orang. Dagangan mereka antara lain barang kelontong, obat-obaran, buku dan tak ketinggalan mainan anak. Waktu itu penjual makanan dengan gerobak atau pikulan tidak termasuk dalam kategori ini. Mereka masuk dalam kategori dagang rakyat. 

Dalam buku Jakarta Sejarah 400 tahun, Susan Blackburn menceritakan kebiasaan PKL di Batavia pada akhir abad ke-19 yang menjajakan barang dagangannya dengan cara berteriak untuk menarik perhatian pembeli. 

Namun keberadaan para PKL itu tidak disukai pemerintah kota, alhasil mereka pun kerap diusir dari jalanan.  Tindakan tersebut sempat menuai protes dari sejumlah bumiputera yang duduk di Dewan Kota (gemeente raad), salah satunya adalah Abdoel Moeis. 

“Para pedagang diusir dari pinggir jalan karena di tempat tersebut tinggal banyak orang Belanda yang tidak mau melihat para pedagang kaki lima kotor itu,” protes Moeis dalam sidang Dewan Kota pada tahun 1918, dikutip Susan Blackburn.

Walau tidak diketahui secara pasti, namun Susan memperkirakan jumlah para PKL ini terus mengalami peningkatan terutama pada tahun 1934 sebagai buntut dari masa depresi yang melanda dunia pada 1930-an. 

Jumlahnya pun kian meningkat setelah masa kemerdekaan sampai-sampai Dewan Perwakilan Kota Sementara (DPKS) menyebut mereka sebagai salah satu sumber utama konflik pendudukdi Jakarta era 1950-an.  

Selain itu, mereka juga menganggap para PKL mengganggu keteraturan kota. DPKS juga berusaha mencarikan mereka tempat untuk berdagang, namun langkah tersebut gagal terlaksana lantaran kota kekurangan lahan untuk pasar. 

Memasuki tahun 1960-an, PKL mulai mendapat predikat buruk. Mayapada edisi 15 Januari 1968 menyebutkan bahwa PKL saat itu dianggap merusak tatanan dan keindahan kota, mempunyai cara dagang yang primitif serta membuat malu kota ketika mendapat kunjungan tamu asing. Namun begitu masih ada yang membela mereka "Sebagian dari pedagang-pedagang kita baru mampu berkaki lima," tulis Mayapada. 

Keberadaan PKL di kawasan Taman Topi Bogor pada tahun 1990-an


Sikap lebih tegas terhadap para PKL ditunjukkan oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin yang menindak para PKL yang membandel. Namun Ali juga menyediakan lahan baru untuk mereka berdagang seperti tertuang dalam Pengumuman Gubernur DKI Jakarta tanggal 27 juli 1971 No lb/1/1/11/1970.

Pada masa Jakarta dipimpin oleh Gubernur Cokropanolo, para PKL seperti memperoleh angin segar lantaran pengusiran yang agak berkurang. Sejak itulah, jumlah PKL semakin tidak terkendali. 

Sumber referensi Historia