Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dendam Tak Terbalas Duryodhana

Duryodhana ( दुर्योधन ) atau Suyodhana adalah anak tertua dari pasangan Dretarasta dan Gandhari di antara seratus anaknya (Korawa) yang lain. Dalam kisah Mahabharata Duryodhana merupakan tokoh paling berpengaruh dalam jalannya cerita ini. Ia juga lah yang menjadi penyebab timbulnya perang saudara Bharatayuddha.



Dikisahkan Duryodhana merupakan titisan dari iblis Kali yang memiliki semua sifat keburukan yang dimiliki manusia, seperti sirik, dengki, dan pemarah karena itu ia memiliki sifat yang sangat licik dan kejam terutama pada saudaranya yang lain yaitu Pandawa. Namun selain sifat buruknya itu Duryodhana adalah seorang yang jujur, ia juga seorang sangat menghormati kedua orangtuanya, termasuk juga sang paman Shakuni yang kerap meracuninya dengan hasutan-hasutan untuk membenci ke lima anak Pandu atau Pandawa

Jika diterjemahkan secara harfiah, nama Duryodhana dalam bahasa Sanskerta berarti "tak terkalahkan".  Hal tersebut memang sudah merupakan bakat alaminya, terlebih ia dan saudaranya yang lain lahir ke dunia lewat bantuan Resi Vyasa (Abyasa) setelah menyimpan serpihan daging dalam seratus buah kendi atau pot. 

Waktu itu Gandhari yang baru menikah dengan Dretarasta merasa tertekan oleh sang suami yang selalu menginginkan serataus orang anak untuk menjadi penerusnya, terlebih setelah mengetahui Dewi Kunti telah memberikan tiga orang putera pada Pandu, adik dari suaminya.  Ketika Hamil ia merasa heran dengan kehamilannya yang cukup panjang dan tidak wajar, karena merasa marah dan frustasi ia pun memukul-mukul kandungannya itu.
 
Alhasil Gandhari pun merasakan mulas pada perutnya, dan mulai menjalani proses persalinan, namun betapa terkejutnya para dayang yang membantu persalinannya, karena bukan seorang bayi yang ia dapatkan melainkan onggokan daging yang menjijikan. 

Gandhari pun menemui Resi Byasa, seorang pertapa sakti yang kemudian memberikannya berkah seratus orang anak kepada Gandhari. Resi Byasa kemudian memotong-motong onggokan daging tersebut menjadi 100 potong dan memasukannya ke dalam masing-masing kendi atau pot, yang kemudian di simpannya untuk waktu yang cukup lama. 

Dalam kisah pewayangan Jawa dikisahkan bahwa setelah melahirkan Gandhari kemudian melemparkan onggokan daging yang dilahirkannya itu ke taman, lalu dengan rasa frustasi ia menendang-nendang onggokan daging tersebut hingga menjadi seratus serpihan, dan atas saran Resi Byasa, seratus potong daging tersebut kemudian ditutupinya dengan sehelai daun. 

Komik mahabharata dari RA Kosasih yang menceritakan kisah Gandhari yang merasa kecewa
Tibalah waktunya potongan daging itu menjadi manusia, alam seolah mengabarkan peristiwa tersebut dengan tanda-tanda yang menyeramkan, mulai dari petir yang bergemuruh, angin kencang, lolongan anjing dan serigala, ringkik kuda serta hewan-hewan peliharaan yang tidak tenang. Suasana diluar yang mencekam tidak dialami oleh Gandhari dan Dertrarasta, ia merasa sangat berbahagia menyaksikan kemunculan anak-anaknya dari masing-masing kendi yang disimpan oleh Byasa. 



Anak pertama yang keluar dari pot adalah Duryodhana, lalu disusul oleh Dursasana, dan dilanjut dengan adik-adiknya yang lain.  Sementara itu merasakan firasat yang tidak baik, para brahmana yang berada di keraton mengatakan bahwa tanda-tanda alam yang buruk yang mengiringi kelahiran mereka akan menjadi tanda bahwa kekerasan akan mengakhiri dinasti mereka. Khawatir dengan gelagat yang tidak baik terhadap kelangsungan Hastinapura, Widura dan Bhisma menyarankan agar Dretarasta membuang seratus anak-anaknya itu, namun Dretarasta tak sanggup melakukannya karena terikat oleh kasih sayang terhadap putera pertamanya yang ia berinama DURYODHANA.

Duryodhana sangat dihormati oleh semua adik-adiknya, terutama Dursasana. Duryodhana belajar menguasai senjata dari Drona, Krepa, dan Balarama atau Baladewa. Ia pun menjadi sangat kuat dengan senjata gadanya. 

Ketika para Pandawa dan Korawa sedang unjuk kebolehan mengenakan senjata setelah dewasa, muncul sosok ksatria yang gagah yang mengaku sebagai Karna. Karna menantang Arjuna yang disebut sebagai murid yang paling pintar memanah oleh Drona. Namun Krepa mengatakan bahwa tidak sembarang orang bisa melakukan hal tersebut, karena ia harus mengetahui kastanya. Menurutnya hanya orang yang dengan kasta setara yang bisa menantang ksatria dari sebuah kerajaan. 

Duryodhana yang menyaksikan hal itu segera membela Karna, Ia pun menjadikan Karna sebagai seorang Raja di Kerajaan Anga. Sejak saat itulah keduanya mulai saling berteman dengan baik, sampai akhirnya Karna bersumpah untuk terus bersama dan membela temannya itu, meski harus meninggalkan jabatannya sebagai seorang Raja. 




Duryodhana memang tidak mengetahui kalau Karna sebenarnya anak tertua dari Kunti, dan itu artinya Karna adalah Kakak dari para Pandawa yang selama ini dimusuhinya. Namun melalui Karna pula, Duryodhana menyimpan harapan bahwa mereka akan bisa memusnahkan para Pandawa dalam perang Bharatuyuddha. 

Duryodhana memang memiliki sifat yang sombong, namun ia bukanlah seorang yang bodoh. Sebagai anak tertua dari Raja Dretarasta tentu saja ia merasa berhak untuk mewarisi kerajaan ayahnya, namun Duryodhana tak habis fikir kenapa sang ayah justru mewarisi kerajaan pada Yudhistira, begitu juga dengan sang kakek Bhisma yang terang-terangan menolak mengangkat dirinya menjadi Raja Hastinapura.  

Amarah pun bergolak dalam dadanya, terlebih dengan hasutan dari Shakuni yang terkenal dengan lidah tajamnya itu membuat Duryodhana merasa dialah yang paling berhak  atas kerajaan itu, ia bersiasat untuk melenyapkan seluruh putera Pandu. 

Ketika Yudhistira dianugerahi sebuah kerajaan yang bernama Indraprastha, Duryodhana mulai merasa iri hatinya, apalagi ketika hadir dalam sebuah upacara yang berlangsung di Indraprastha ia merasa sangat terkesan dengan kemegahan bangunan istana tersebut, akibatnya ia pun tercebur ke dalam sebuah kolam karena saking beningnya air di kolam tersebut ia menyangkanya sebagai lantai yang harus dipijaknya. 

Kejadian tersebut membuat para pengunjung sidang dari upacara tersebut tertawa terbahak, termasuk Drupadi yang ikut tertawa dan mengeluarkan lelucon hinaan dengan mengatakan bahwa anak orang buta ternyata ikut buta juga. Alhasil Duryodana pun merasa sangat sakit hati dan mulai menyimpan perasaan dendam terhadap Drupadi. 


Setelah peristiwa itu, Duryodhana berusaha memikirkan cara bagaimana menguasai Indraprasta, dengan dibantu oleh Shakuni, mereka menyusun taktik licik dengan mengajak Yudhistria bermain dadu dengan taruhan harta dan kerajaannya. 

Akhirnya niatan tersebut disetujui oleh Dretarasta , termasuk juga Bhisma yang memberikan izin pada Shakuni untuk menggunakan ruangan sidang untuk bermain dadu. Pada hari yang dijanjikan, Yudhistira menerima tantangan Duryodana untuk bermain dadu, namun dalam permainnaya, Duryodana justru diwakilkan oleh Shakuni. 

Pada awal-awal permainan, Shakuni membiarkan Yudhistira memenangkan permainan dadu tersebut, namun setelah permainan berjalan cukup lama, Shakuni memulai cara liciknya. (Adapun dadu yang digunakan dalam permainan dadu itu adalah milik Shakuni, yang dibuatnya dari tulang ayahnya dan telah dirasuki oleh roh sang ayah, sehingga angka-andka yang ada dalam dadu itu akan muncul sesuai kehendak Shakuni) .

AKibatnya Yudhistira harus kehilangan harta-hartanya, dilanjut dengan kehilangan istana dan kerajaannya, kemudian adik-adiknya, dan terakhir adalah Drupadi, isteri dari para Pandawa. 


Setelah merasakan kemenangan, Duryodana menyuruh para Pandawa melepas baju-baju kerajaannya sebagai tanda kekalahan, begitu juga pada Drupadi, ia menyuruhnya untuk melepaskan pakaian yang dikenakannya.  Karena menolak pakaian Drupadi ditarik oleh Dursasana dengan maksud ingin menelanjanginya di hadapan para tetua sidang. 

Dengan bantuan ghaib dari Kresna, pakaian Drupadi tidak habis meski terus menerus ditarik. Melihat hal tersebut, Bima bersumpah akan memotong tangan Dursasana yang telah mempermalukan istrinya itu, dan bersumpah akan memukul paha Duryodhana lantaran telah menyuruh Drupadi berbaring di atas pahanya.


Ketika Yudhistira dan saudara-saudaranya yang lain beserta Drupadi menjalani masa pembuangan selama 12 tahun, dan masa penyamaran selama satu tahun mereka kembali ke Hastinaputa dan menuntut balik kerajaan mereka sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan. Namun alih-alih mentaati janjinya, Duryodhana justru bersikap angkuh dengan menolak permintaan Yudhistira mentah-mentah. Maka Yudhistira pun meminta diberikan lima desa saja karena sudah kewajiban para Pandawa untuk ikut serta dalam pemerintahan sebagai pangeran dari Kerajaan Kuru. Dengan sombongnya Duryodhana menolak permintaan Yudhistira dan berkata tidak akan mau memberikan tanahnya pada para Pandawa meski seluas ujung jarum. Duryodhana bahkan menantang Pandawa untuk perang. 

Sebelum dimulai pertempuran, Kresna datang menghadap Duryodhan dan para tetua Kerajaan Kuru seperti Dretarasta, Widura, Bisma, dan Dona. Kresna datang untuk menyampaikan misi perdamaian dan agar perang tidak terjadi. Namun usul Kresna ditolak oleh Duryodhana, dalam kesempatan tersebut muncul niat jahat Duryodhana untuk menculik Kresna namun Kresna mengetahui niat jahatnya itu, dan menampakkan wujud aslinya. Dengan gagalnya usaha perdamaian yang telah diusahakan oleh Kresna, maka peperangan besar pun tidak bisa dihindari. 

Dalam perang besar Bharatayuddha, Duryodhana menunjuk ksatria-ksatria tangguh menjadi  panglima perang seperti Bhisma, Drona, Karna, Aswatama, Salysa, dan lain-lainnya. Namun satu persatu panglima perangnya itu gugur dalam medan pertempuran oleh Pandawa. 

Perasaan Duryodana semakin terpukul setelah mengetahui ke-99 saudaranya telah tewas di tangan Bima, termasuk Dushasana yang mati dengan cara yang sangat mengenaskan lantaran telah menghina Drupadi. 




Duryodhana semakin bertambah frustasi setelah mengetahui Karna sahabatnya mati ditangan Arjuna, namun setelah ia mengetahui bahwa Karna adalah Kakak dari para Pandawa dan tidak membunuh para Pandawa, ketika sang paman, Shakuni yang disayanginya mati ditangan Sahadev (Sadewa), Duryodana pun semakin terpukul hatinya dan mulai merasa cemas dengan kekalahannya. Aswatamalah yang kemudian membangkitkan semangat Duryodhana. 

Gandhari yang merasa sedih setelah kehilangan 99 anaknya itu mulai merasa khawatir dengan keselamatan Duryodhana. Maka dipanggilah Duryodana untuk menerima kekuatan ghaib. Gandhari menyuruh Duryodhana untuk membuka seluruh pakaiannya agar seluruh tubuhnya mendapat anugerah darinya. Namun ketika dalam keadaan telanjang dan tidak berpakaian itu Duryodhana berpapasan dengan Kresna yang segera mengolok-ngoloknya lantaran tidak terpuji seorang ksatria menghadap ibundanya dalam kondisi tanpa pakaian. 

Karena merasa malu dan terpengaruh oleh ucapan Kresna, Duryodhana mengambil sehelai daun dan menutupi tubuh bagian bawahnya dengan daun tersebut. Ketika sampai dihadapan ibunya, Gandhari segera membunka penutup mata yang selama ini dikenakannya. Seluruh penderitaan, rasa kecewa, kekesalan, dan kasih sayang Gandhari menjadi sebuah anugerah yang menumpuk dalam pandangan matanya. Saat itu dari mata Gandhari keluar cahaya yang menyelimputi seluruh tubuh Duryodhana, tapi ketika mengetahui bahwa Duryodhana menutupi tubuh bagian bawahnya dengan daun, Gandhari memberitahunya bahwa bagian tersebut tidak terkena anugerah sehingga menjadi kelemahan bagi Duryodhana. 


Setelah mendapatkan kekuatan ghaib dari mata Gandhari, Duryodhana menjadi seseorang yang berotot kawat tulang besi. Kekuatannya meningkat beberapa kali lipat, bahkan ia menjadi seorang yang kebal senjata. 

Ketika bertarung sendirian melawan Pandawa, Yudhistira mengajukan tawaran pada Duryodhana, bahwa ia harus memilih salah seorang Pandawa sebagai lawan tarungnya, dan jika ia berhasil mengalahkannya maka Yudhistira akan menyerahkan kerajaannya pada Duryodhana.  Duryodhana pun memilih untuk bertarung dengan Bima yang menjadi musuh utamanya sejak masih kecil.  Dengan menggunakan gada kedua ksatria yang hebat itu bertarung dengan habis-habisan. 

Meski Bima memukulnya dengan hantaman yang keras, namun tak sedikitpun Duryodana bergeser dari tempatnya. Ia memang telah memiliki kekuatan dari sang ibu yang tak ingin melihatnya mati dalam perang tersebut. Dalam pertarungan sengit itu, Bima selalu gagal membuat Duryodhana tersungkur, dan setelah pertempuran yang tidak seimbang itu. Kresna mengingatkan Bima akan sumpahnya yang pernah ia katakan ketika Drupadi di hina oleh Duryodhana. 

Teringat dengan sumpahnya itu, Bima segera melayangkan pukulan gadanya dengan segenap kekuatan yang tersisa pada bagian paha dari Duryodhana yang spontan langsung tersungkur. Duryodhana roboh dan merasa kesakitan, sebab bagian tubuh yang dipukul oleh Bima adalah bagian yang tidak mendapatkan anugerah ibunya lantaran ditutupinya dengan daun. 



Ketika Bima akan mengakhiri riwayat Duryodhana, muncul Balarama yang mencegahnya dan mengancam akan membunuh Bima karena telah bertindak licik dengan mengarahkan gadanya pada bagian yang terlarang. (Dalam sebuah pertarungan Gada, para petarung dilarang memukul senjatanya itu pada bagian bawah tubuh dari lawannya). 

Kresna kemudian menyadarkan kakaknya Baladewa dengan mengatakan bahwa sudah kewajiban Bima untuk menunaikan sumpahnya. Kresna juga membeberkan kecurangan-kecurangan yang telah dilakukan oleh Duryodana Dibanding Bima Duryodana lebih banyak melanggar aturan-aturan perang. Bahkan telah melakukan sesuatu yang licik dengan menjebak Abimanyu putra Arjuna yang merupakan keponakan dari Kresna dan Baladewa. 

Menjelang matahari terbenam di hari peperangan yang ke-18, Duryodhana pun gugur. Hanya tersisa beberapa ksatria yang berada di pihak Korawa, yaitu Aswatama, Krepa, Dan Kretawarma. 

Menurut cerita, setelah kematiannya, oleh para dewa Duryodana dimasukkan ke dalam neraka, dan setelah mengalami siksaan neraka karena sifat-sifat sombongnya, Duryodhana pun berhak hidup senang di Sorga lantaran ia gugur di Kurukshetra, tanah suci yang telah diberkati oleh para dewa.