Ketika suara Bung Karno tak lagi didengar
Ada masa yang bisa kita sebut sebagai antiklimaks pada diri seorang
Sukarno. Masa itu adalah bentang tahun antara 1965 – 1967, atau
persisnya sejak Gestok, 1 Oktober 1965 hingga dilengserkannya dia tahun
1967. Pada saat itu, suara Sukarno benar-benar seperti angin lalu, di
tengah gencarnya kekuatan yang digalang Soeharto dengan Angkatan Darat
serta mahasiswa, yang semuanya didukung Amerika Serikat.
Tragedi G-30-S/PKI itu sendiri, dalam dokumen yang terekspos serta
bukti-bukti yang tersaji, sungguh sebuah rekayasa jahat. Sebagian
pengamat menyebutnya “kudeta merangkak”, mulai dari aksi pembunuhan
jenderal hingga pendiskreditan atas diri Sukarno, hingga berujung pada
tindakan pembunuhan karakter dan pembunuhan dalam pengertian yang
mendekati arti sesungguhnya.
Dokumen Arsip Nasional mencatat sedikitnya Bung Karno berpidato
sebanyak 103 kali dalam bentang September 1965 hingga 1967. Di tengah
serangan aksi demo mahasiswa yang bertubi-tubi, serta pembunuhan
karakter di media massa, Bung Karno terus dan terus berpidato dalam
setiap kesempatan. Dalam setiap pidatonya, Bung Karno menjawab semua
tudingan dengan sangat gamblang dan masuk akal. Akan tetapi, tidak satu
pun yang mendengar.
Jenderal-jenderal yang semula patuh dan tunduk, mulai membangkang.
Setiap isi pidato Bung Karno, tidak pernah lolos dari gunting sensor
Angkatan Darat, sehingga tidak satu pun substansi pidato Bung Karno tadi
terekspos di media massa. Sedangkan pemberitaan yang muncul selalu
berisi pemutarbalikan fakta, dan opini-opini kaum oposan yang
menyudutkan Bung Karno.
Sejatinya, barisan pendukung Sukarno sudah begitu kuat. Bahkan semua
angkatan bersenjata dan Polisi (kecuali Angkatan Darat) berdiri di
belakang Sukarno, dan siap perintah untuk menumpas aksi demo sokongan
Amerika, dan aksi membangkang Angkatan Darat. Di atas kertas, kalau saja
Bung Karno mau, maka dengan mudah aksi perlawanan Angkatan Darat yang
dipimpin Soeharto bisa ditumpas.
Dalam banyak dokumen sejarah terungkap, Bung Karno tidak menghendaki
perang saudara. Ia melarang para pendukungnya untuk melakukan aksi basmi
terhadap saudara sebangsa yang membangkang. Bahkan kemudian Bung Karno
memilih “mengalah” demi rakyat Indonesia, demi keutuhan bangsa. Ia
bersedia menjadi tumbal. Kepada orang dekatnya, Maulwi Saelan ia pernah
bertutur, biar nanti sejarah yang membuktikan, siapa yang salah dan
siapa yang benar…. Sukarno atau Soeharto.
Bung Karno bahkan mulai menguak temuannya tentang adanya transfer
dana dari pihak asing sebesar Rp 150 juta pada tahun 1965 dengan tujuan
untuk mengembangkan the free world ideology. Dalam pada itu, Bung Karno
juga mengemukakan bahwa ia memiliki surat Kartosoewirjo yang menyuruh
para pengikutnya terus berjuang mendirikan Negara Islam Indonesia (NII)
karena “Amerika di belakang kita”. Dalam kesempatan lain lagi, Bung
Karno mengutuk nekolim dan CIA. Ia bahkan berseru di hadapan para
diplomat asing di Jakarta, “Ambasador jangan subvesi!”.
Atas tragedi G-30-S/PKI itu sendiri, Bung Karno terus disudutkan
sebagai pihak yang patut diduga terlibat. Meski di kemudian hari kita
baru menyadari… bagaimana mungkin seorang presiden mengkudeta dirinya
sendiri? Itu jika kita menggunakan analogi bahwa gerakan itu dimaksudkan
untuk mengganti kepemimpinan nasional.
Dalam salah satu pidato yang ia ucapkan di Bogor, Bung Karno
menyebutkan bahwa berdasar visum dokter, tidak ada kemaluan jenderal
korban G-30-S itu yang dipotong dalam pembantaian di Lubang Buaya.
Demikian pula, tidak ada mata yang dicungkil seperti ditulis pers dengan
sangat dramatis. Dalam pidato berikutnya tangal 13 Desember 1965 di
hadapan par gubernur se-Indonesia, Bung Karno bahkan menuturkan, pisau
yang disebut-sebut digunakan mencongkel mata para jenderal tak lain
adalah sebilah pisau penyadap lateks, getah pohon karet. Tapi oleh
kelompok Soeharto disebut sebagai barang bukti yang digunakan mencungkil
mata para jenderal. Tidak ada bekas darah kecuali getah karet di pisau
itu.
Semua pidato Bung Karno yang bermaksud meng-counter
tudingan, sangkaan, dugaan serta segala bentuk pencemaran nama baik, tak
mempan. Kekuatan Angkatan Darat didukung Amerika Serikat begitu
merajalela. Di sisi lain, Bung Karno yang sudah mendapatkan ikrar setia
dari segenap elemen masyarakat, bergeming tidak mau bertindak menumpas.
Ia tidak ingin perang saudara di bumi yang dengan susah payah ia
lepaskan dari jerat penjajahan.
Seperti tertulis dari blog Roso Daras