Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Soekarno menjadi guru

Selepas dari perguruan tinggi pada tahun 1926, Soekarno berhak menyandang gelar sebagai insinyur. Biro arsitek pertama yang ia dirikan adalah bersama Ir. Anwari, namun sayang biro tersebut kemudian tidak berjalan lama, begitu pula dengan biro arsitek yang didirikannya untuk kedua kalinya bersama Ir. Rooseno. Meski begitu, untuk menafkahi keluarga, Soekarno mau mengerjakan beberapa pekeraan untuk kabupaten-kabupaten serta bangunan-bangunan rumah pejabat pemerintah. Bukan itu saja, Soekarno ditawari jabatan menarik di Departemen Pekerjaan Umum di Pemerintahan Hindia Belanda. 





Saat datang tawaran itulah ia tersentak sadar, bahwa ia tak bisa terus menekuni pekerjaan tadi, karena pada dasarnya ia hidup untuk sebuah prinsip non-koperasi. Persis seperti alasan yang ia ungkapkan kepada profesornya di THS, sesaat setelah lulus, yang menyarankannya agar bekerja membantu pemerintah Hindia Belanda.

Saat itu Sukarno muda menukas, “Profesor, saya menolak bekerja sama, supaya saya tetap bebas dalam berpikir dan bertindak. Kalau saya bekerja pada pemerintah, secara diam-diam saya membantu politik penindasan dari rezim mereka yang otokratis dan monopolistis itu. Pemuda sekarang harus merombak kebiasaan menjadi pegawai kolonial segera setelah memperoleh gelarnya. Kalau tidak begitu, kami tidak akan merdeka selama-lamanya.”
Faktanya, Sukarno sendiri akhirnya kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kiriman orang tuanya praktis sudah dihentikan, segera setelah ia lulus kuliah. Tiba pada suatu saat, ia mendengar adanya lowongan mengajar di sekolah Yayasan Ksatrian yang diselenggarakan oleh pemimpin kebangsaan Dr. Setiabudi alias Douwes Deker di kota Bandung. Mereka mencari guru untuk dua mata pelajaran, Sejarah dan Ilmu Pasti.

Huh…,” gerutu Bung Karno. “Dua mata pelajaran yang paling tidak aku kuasai,” gumamnya dalam hati. Akan tetapi, manakala perwakilan sekolah bertanya, “Insinyur Sukarno, tuan adalah insinyur berijazah, jadi tentu tuan ahli dalam ilmu pasti. Bukankah begitu?” Spontan Bung Karno menjawab “pe-de”, “Ohh… ya tuan! Ya… betul, aku menguasainya.
Termasuk saat ditanya, “Baiklah. Tuan dapat mengajar ilmu pasti?”, Bung Karno menyambar, “Mengapa tidak! Saya menguasai betul ilmu pasti. Ini mata pelajaran yang saya senangi,” katanya benar-benar mantap dalam berbohong.

Apa yang hendak dikata, saat itu kondisi Soekarno dan Inggit benar-benar dalam keadaan yang sangat sederhana, yang bisa mereka suguhkan pada tamu yang datang pun hanyalah secangkir teh tanpa gula. Dalam keadaan yang penuh kebutuhan itu, apakah ia harus mengaku bahwa ia sebenarnya tidak bisa mengajar ilmu pasti dan sejarah? 

Ringkas cerita, Soekarno pun diterima mengajar di sekolah tersebut. Pelajaran yang semula ia pikir mudah, ternyata sangat susah, bahkan ia harus mengajar di kelas yang berisikan 30 murid, yang di antaranya adalah Anwar Cokroaminoto, putra dari H.O.S. Cokroaminoto, gurunya pada waktu masih di Surabaya dulu. 

Tanpa mengetahui bagaiman cara mengajar yang baik, Soekarno pun mulai memainkan perannya seabgai guru dengan penuh improvisasi. Ya, ia mulai mengajar dengan gayanya sendiri, gaya seorang orator!. Ia mengajar dengan sangat berapi-api!, bahkan saking berapi-apinya, para muridnya pun sampai dibuat bingung dengan pelajaran yang ia terima dari Soekarno.

Sebagai seorang guru sejarah, Soekarno tak menghiraukan soal tanggal dan tahun. Soekarno juga tak mau membuat murid-muridnya dipusingkan dengan tahun berapa Columbus menemukan Amerika, atau tahun berapa Napoleon gagal di Waterloo. Cara mengajar Soekarno waktu itu memang berbeda dari yang lain. 

Ketika ia mengisahkan sejarah tentang Sun Yat Sen, Pak Guru Soekarno  mengajar dengan penuh semangat berapi-api, teriakannya mengelegar, dan sesekali tangannya menggebrak di atas meja. Alhasil para muridnya pun dibuat terbelalak dengan  gaya mengajar dari guru barunya itu.



Pada waktu itu, sudah menjadi aturan dari Departemen Pengajaran Hindia Belanda untuk mengirim para penilik sekolah pada waktu-waktu tertentu. Tiba gilirannya sekolah Yayasan Ksatrian itu dikunjungi oleh penilik sekolah. Pas kebetulan waktu itu sedang pelajarannya Soekarno.  Penilik itu pun segera duduk di bangku paling belakang, ia akan bertugas untuk mengamati, mencermati dan mengevaluasi cara Soekarno mengajar.

Kebetulan, hari itu Sukarno membawakan materi “Imperialisme”. Sebuah pokok soal yang begitu dikuasainya. Dan begitulah tabiat Sukarno jika sudah berbicara, ia akan berbicara tanpa hirau dampak dan akibat. Ia terus dan terus mencerca sistem imperialisme dengan sangat bersemangat, sambil melompat, sesekali menggebrak, dan tak jarang berteriak.

Alhasil, sang penilik sekolah itu dibuat terpengarah. Bisa anda bayangkan apa yang ada dalam pikiran penilik sekolah yang berkebangsaan belanda itu ketika mendengar seorang guru pribumi dihadapannya berteriak-teriak tentang imperialisme, lalu ditutup dengan kalimat, “Negeri Belanda adalah Kolonialis yang terkutuk!”.

Sambil menahan kegeraman karena amarah, sang penilik berusaha menguasai diri sampai Soekarno selesai memberikan pelajarannya. Syahdan, ketika Soekarno selesai memberkan pelajarannya, ia dihampiri oleh penilik sekolah itu. 

Dengan wajah yang memerah lantaran menahan amarah, sang penilik sekolah itu berkata pada Pak Guru Soekarno,  Raden Sukarno, tuan bukan guru… tuan seorang pembicara!

Itulah akhir dari karier singkatnya seorang Soekarno menjadi seorang guru. Namun, bagaimanapun Soekarno tetap seorang guru , guru bangsa ! 

Salam . 


Dikutip dari  
Roso Daras | Jika seorang orator menjadi guru