Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah panjang Istana Bogor

Pada waktu Istana Buitenzorg dibangun pertama kali pada pertengahan abad ke-18, Bogor masih berupa sebuah kampung yang diteduhi oleh hutan-hutan di sekelilingnya. Bantaran Sungai Ciliwung dan Cisadane yang airnya mengalir sejuk dan dingin itu semula hanya dihuni oleh beberapa warga saja yang menggarap lahan subur di sekitarnya. Pada masa itu, wilayah yang dikelilingi oleh gunung-gunung Salak, Pangrango, Pancar, dan Kapur ini telah menjadi bagian atau ommelanden dari District Jacarta. Tidak ada lagi sisa-sisa kejayaan masa lalunya yang pernah menjadi pusat kerajaan Sunda. 




Ketika Gubernur Jenderal Hindia-Belanda GUstaaf Willem Baron van Imhoff menemukan kawasan itu ketika sedang melakukan lawatan dinasnya ke daerah Cianjur, ia mencatatnya sebagai Kampung baru yang terletak 39 paal dari Batavia, 290 meter di atas permukaa laut. Sang Gubernur itu pun langsung jatuh cinta pada tempat yang berudara sejuk dan jauh dari hingar-bingarnya kota Batavia yang saat itu masih menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan. 

Bagi orang-orang Belanda yang terbiasa tinggal di negeri dingin, Batavia dianggap terlalu panas bagi mereka, sehingga sang Gubernur pun membangun sebuah rumah peristirahatan yang megah berdiri di kawasan nan sejuk dengan pemandangan alamnya yang hijau dan cantik. Di sebuah lahan subur, sang Gubernur kemudian mendirikan sebuah bangunan bergaya Istana Blienheim, sebuah puri yang jadi tempat tinggalnya Duke of Malborough yang letaknya tidak jauh dari Oxford, Inggris. 

Baron van Imhoff membuat sendiri sketsa bangunan yang diinginkannya itu, lalu pada tahun 1745 pembangunan istana di Kampung Baru itu pun mulai dilakukan. Berada di sebuah tempat yang damai membuat sang gubernur merasa lebih tenang, sehingga ia pun memberi nama daerah tersebut dengan nama Buitenzorg, sebuah kata Belanda yang bermakna - tanpa kekhawatiran - dan sans souci dalam bahasa Perancis. Buitenzorg menjadi nama yang tepat sebagai tempat peristirahatan untuk melupakan pelik-pelik di Batavia. 

Walau begitu, banyak sejarawan yang meragukan kalau Van Imhoff ini mengambil inspirasi bangunannya dari Istana Blenheim. Sebab Van Imhoff sendiri adalah seorang bangsawan Jerman yang berasal dari Heidelberg. Selain itu penamaan Buitenzorg yang sama maknanya dengan sans souci ini memunculkan dugaan kuat kalau desain pertama Istana Buitenzorg adalah meniru atau terilhami oleh Istana Raja Frederik yang berada dekat Berlin yang bernama Sans Souci. 

Setelah wafatnya Van Imhoff tahun 1750, pembangunan Istana Buitenzorg sebenarnya masih jauh dari usai. Namun dalam waktu yang bersamaan, berkobar Perang Banten. Rakyat yang bermukin di bantaran Sungai Cisadane merasa kecewa karena Ratu Syarifah penguasa di Kesultanan Banten telah menyerahkan kawasan subut kepada VOC. Dibawah pimpinan Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang, mereka pun memberontak dan istana yang belum selesai dibangun itu pun hancur dibakar dalam salah satu serangan. 

Jacob Mossel, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang menggantikan Van Imhoff lah yang kemudian melakukan renovasi ulang terhadap bangunan Istana Buitenzorg yang mengalami kerusakan berat akibat peristiwa tersebut. Berbekal desain yang ditinggalkan oleh Van Imhoff, Gubernur baru itu pun melanjutkan pembangunannya. 



Daya tarik Istana Buitenzorg ternyata membuatnya menjadi tujuan favorit para Gubernur Jenderal serta petinggi VOC dan sejak saat itu, bangunan ini mulai ditetapkan sebagai tempat kediaman resmi bagi pemangku jabatan Gubernur Jenderal. Sedangkan rencana pemerintah kolonial yang hendak membangun sebuah rumah Gubernur di dekat tangsi tentara di Waterloopein (sekarang Lapangan Banteng, Jakarta) urung dilaksanakan.Sebelumnya para gubernur dan keluarganya tinggal di dalam Kasteel Batavia yang berada tidak jauh dari Stadhui (sekarang Museum Sejarah jakarta). 

Setelah menjadi kediaman resmi para Gubernur Jenderal, Istana Buitenzorg kerap mengalami penyempurnaan sesuai dengan bertambahnya kebutuhan dan kemakmuran VOC.

Untuk kemudahan beribadah Gubernur Jenderal dan para pejabat pemerintahan, pada tahun 1920, di salah satu sudut halaman Istana yang luasnya sekitar 28 hektar itu dibangun sebuah gereja protestan. Keberadaan gereja tersebut sampai sekarang masih bisa anda lihat, tetapi sudah dipisahkan dari komplek Istana dengan pagar yang tujuannya agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat umum secara penuh. Gereja itu sekarang dikenal dengan nama Zebaoth. 


Bersamaan degan pembangunan gereja, dibangun pula dapur pembuatan roti dan kue, sebuah ruang untuk bermain, dan tempat minum kopi di halaman. Tak lupa sebuah rumah sakit pun didirikan di belakang kompleks Istana Buitenzorg. Rumah sakit itu kelak digunakan menjadi Rumah Sakit Umum Palang Merah Indonesia yang terletak di Jalan Pajajaran. Pada masa itu, lahan rumah sakit masih menjadi bagian dari halaman luas Istana Buitenzorg.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang menciptakan proyek raksasa Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, Istana Buitenzorg kembali mengalami renovasi secara besar-besara. Daendels merubah sayap kanan dan kiri dari istana itu menjadi bangunan bertingkat dua. Namun selama pembangunan dilaksanakanan, Daendels secara serampangan menggunakan bangunan utama sebagai gudang tempat menyimpan bahan-bahan bangunan yang sebagian besar didatangkan dari Negeri Belanda. 

Ketika Inggris berkuasa atas wilayah Jawa dan tanah seberang pada tahun 1811 - 1816, Lentan (wakil) Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles memakai Istana Buitenzorg sebagai kediaman resminya. Kembali, bangunan istana itu pun mengalami pemugaran besar-besaran, terutama pada bangunan utamanya (bangunan tengah). Selain itu, Ramffles juga mengubah kebun sekeliling istana menjadi kebun bergaya Inggris. Ia bahkan memulai pembangunan Kebun Raya di atas lahan yang mengeliling Istana Buitenzorg.   

Pembangunan Hortus Bogoriensis itu dipimpin oleh seorang guru besar C.C.C. Reinwardt untuk menghimpun dan melestarikan kekayaan ragam tumbuh-tumbuhan yang terdapat di bumi Nusantara. Pada tahun 1844, untuk melengkapi kebun raya, dibangun pula Herbarium Bogoriensis untyk menyimpan berbagai data tentang flora Nusantara.

Hortus Bogoriensis dan Herbarium Bogoriensis juga membuat Bogor sebagai referensi baru bagi para ilmuwan botani. Sejumlah ahli dari Eropa datang ke Kebun Raya Bogor untuk memperdalam pengetahuan. Seorang diantaranya, Ernest Haeckel, menulis tajuk Maleische Reisebriefe (Kisah Perjalanan ke Tanah Melayu), bahwa sejak pagi pertama keberadaannya di Buitenzorg, ia merasa seolah-olah berada di Taman Firdaus. Semua bayangan tentang keindahan Taman Firdaus mewujud di Hortus Bogoriensis, tulis Haeckel.

Untuk mempercantik halaman istana yang megah, Raffles mendatangkan enam pasang rusa dari daerah perbatasan Nepal dan India. Rusa-rusa itu dibiarkan merumput dan berkembangbiak di halaman istananya yang luas dan subur itu. 

Setelah Belanda kembali mengambil alih kekuasaan dari Inggris, Gubernur saat itu yaitu G.A.G.Ph. Baron van Der Capellen (1819-1926) kembali melakukan pemugaran yang telah dilakukan oleh Raffles atas bangunan utama
Istana Buitenzorg. Di atas bangunan utamanya itu, ia membangun sebuah menara untuk menambah kemegahan istananya. 



10 Oktober 1834, sebuah gempa bumi besar melanda kawasan Bogor dan sekitarnya. Gempa itu kemudian merusakan bangunan istana yang selama ini menjadi tambal sulam campur aduk berbagai corak arsitektur itu. Beberapa bangunan mengalami kerusakan parah, terutama pada bangunan utama dan bangunan sayap sebelah kiri. 

Pada tahun 1850, Gubernur Jenderal Albertus Jacob Duymaer Van Twist memutuskan untuk merobohkan semua bangunannya. Istana Buitenzorg desain awal yang mengalami beberapa kali pemugaran dan renovasi itu pun rata dengan tanah. Di lokasi bekas bangunannya itu, Van Twist membangun kembali bangunan istana dengan konsep arsitektur yang jauh berbeda dan sama sekali baru. Peristiwa gempa bumi mengingatkan para perencana bangunan untuk tidak membangun istana yang rentan terhadap gempa. Sehingga diputuskan bahwa istana yang akan dibangun mereka itu hanya satu lantai saja, dengan desain bergaya Paladio yang populer di Eropa di abad ke-19. Hanya denah istana saja yang masih dipertahankan, yaitu konsep bangunan induk di tengah dengan masing-masing bangunan sayap di kanan dan kirinya. Untuk menghubungkan gedung sayap dengan geung utama, dibuatlah jembatan lengkung dari kayu. 



Pembangunan kembali Istana Buitenzorg baru selesai pada masa pemerintahan Gubemur Jenderal Charles Ferdinand Pahud (1856 – 1861). Tahun 1870, Istana Buitenzorg mulai ditetapkan sebagai istana kediaman resmi, bukan lagi rumah tetirah bagi para Gubemur Jenderal Hindia-Belanda. Kenyataannya, Istana Buitenzorg memang telah menjadi bangunan yang lebih anggun dan berwibawa dibanding bekas rumah saudagar di Rijswijk yang diambil-alih pada tahun 1816 untuk menjadi kediaman Gubemur Jenderal di Batavia. Dengan keputusan itu, pemerintah penjajah Hindia-Belanda membatalkan rencana membangun istana bagi Gubemur Jenderal di Waterlooplein. Bangunan yang sudah dimulai sejak masa Daendels itu kemudian diperuntukkan sebagai gedung kantor Pemerintahan.

Silih berganti para Gubernur Jenderal Hindia-Belanda mendiami Istana Buitenzorg yang mewah dan megah itu, termasuk juga sang Gubernur Jenderal yang sangat dibenci oleh rakyat yaitu Dirk Fock (1921-1926) karena telah semena-mena menaikkan berbagai macam pajak yang menyusahkan rakyat yang dijajahnya. Kemudian si tangan besi Gubernur Jenderal B.C. De Jonge (1931-1936) yang memerintahkan penangkapan para pemimpin pejuan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah Soekarno, Hatta, dan Sjahrir lalu membuangnya ke pengasingan. 

Gubernur Jenderal B.C. De Jonge (1931-1936)


Bangunan baru Istana Buitenzorg itu memiliki menara tepat di atas bangunan utamanya. Tepat di bawah menara itu ada sebuah ruangan para musisi memainkan musik jika diselenggarakan pesta-pesta dansa. Ruang utama di bawah menara itu yang sekarang disebut Ruang Garuda dulunya adalah danszaal/ruang dansa, tempat para bangsawan, pejabat pemerintah dan militer dan juga para saudagar Belanda berpesta pora. Tak jarang, ketika pesta berlangsung, lampu-lampu gas yang biasanya digunakan sebagai penerangan istana akan digantikan dengan lilin-lilin yang romantis. 

Titik dibawah menara itu juga ditetapkan sebagai poros untuk memperhitungkan rencana pemasangan pipa air minum bagi semua warga kota. Bila pintu-pintunya terbuka, ruangan dansa itu tepat menghadap ke arah utara yaitu sebuah jalan utama yang menuju Batavia melalui Cibinong. Dari kejauhan tampak sebuah pilar berwarna putih tinggi menjulang yang menjadi simbol kebangkitan dan kejayaan Belanda. 



Kondisi Istana Buitenzorg semakin tidak terurus setelah Gubernur Jenderal Tjarda Van Starkenborgh-Stachower menyerahkan kekuasannya kepada Jepang di Kalijati. Pada masa pendudukan Jepang, ruangan-ruangan dalam Istana itu digunakan sebagai markas tentara yang dipimpin oleh Jenderal Imamura. 

Apa yang terjadi kemudian adalah masa-masa paling kelam dalam sejarah Istana Buitenzorg/Bogor. Jepang menggunakan ruangan bawah tanah istana menjadi sel-sela tahanan untuk memenjarakan orang-orang Belanda yang mereka tangkap. Untuk menyamarkan bangunan istana dari serangan udara, Jepang mengecat ulang seluruh bangunan istana dengan cat berwarna hitam.

Bahkan kolam-kolam indah yang dibangun pada masa Raffles dikeringkan airnya agar tidak memantulkan cahaya yang bias dari udara, kemudian kolam-kolam kering itu ditimbun dengan tanah lalu ditanamai semak belukar.
Halaman istana yang semula cantik berubah menjadi hutan belukar. 


Rumput-rumput istana dibiarkan liar meninggi. Selama pendudukan Jepang tahun 1942-1945, rusa-rusa yang jumlahnya ratusan itu pun berangsur-angsur mencapai kepunahan karena setiap harinya disembelih sebagai makanan para serdadau Jepang. Untungnya rumput-rumput yang tumbuh liar dan meninggi itu menjadi tempat persembunyian yang aman bagi sebagian rusa-rusa untuk bertahan hidup dari buruan para tentara Jepang. 



Karena itulah, sampai saat ini kita masih bisa melihat keberadaan keturuan rusa-rusa yang bertahan hidup itu,, kalau saja serdadu Jepang sudah memakan habis rusa-rusa istana mungkin saja halaman Istana Bogor saat ini tidak akan diramaikan oleh masyarakat umum yang berjajar di pinggir pagar untuk memotret dan memberi makan rusa. 

Bukan itu saja, tentara pendudukan Jepang juga mencuri dan mengangkuti perbagai benda bernilai seni tinggi yang mahal harganya ke negara mereka. Berbagai keris dan tombak-tombak pusaka peninggalan kerajaan yang penuh sejarah dan upeti para raja-raja dan sultan di Nusantara kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tak luput dari jarahan Jepang. 

Mereka juga mencabuti semua benda-benda yang terbuat dari logam untuk dilebur menjadi alat-alat persenjataan, termasuk tiang-tiang lampu bergaya indah dari Eropa, besi pagar dan elemen artistik dari bangunan istana habis mereka jarah. 

Dalam kondisi istana yang compang-camping itulah, setelah Jepang takluk pada sekutu pada tahun 1945, Istana Bogor dikuasai oleh sekitar 200 pemuda Indonesia yang tergabug dalam Barisan Keamanan Rakyat. Namun usaha mereka tidak berlangsung lama karena kompleks istana ini direbut kembali oleh tentara pendudukan Sekutu yang justru merintis jalan bagi kembalinya administrasi Hindia-Belanda yang sebelumnya mengungsi ke Australia.




Meskipun Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, namun Belanda baru mau mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1949. Pada waktu itulah Istana Bogor diserahkan secara resmi oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia. Seluruh barang-barang milik Belanda mereka bawa pulang, yang tersisa hanyalah lima buah cermin berukuran besar yang masih tergantung di dinding dalam sebuah ruangan istana. 

Setelah pengambilalihan, Istana Bogor tidak serta merta mendapatkan perhatian dari Pemerintah Republik Indonesia. Usia muda kemerdekaan yang baru diproklamasikan itu membuat para pendiri negara lebih berfokus pada urusan penyelenggaraan negara. 

Barulah pada tahun 1952, Presiden Soekarno memulai proyek pemugaran istana secara bertahan. Bagian istana yang pertama kali dipugar adalah bagian depan dari bangunan utama. Ditambahkan pula sebuah beranda/portico yang ditopang oleh enam tiang berlaras lonia. Beranda ini tersambung dengan serambi depan dengan sepuluh saka bergaya sama. Tidak sekedar menambah keanggunan istana, beranda baru ini juga berfungsi melindungi tamu agaung dari hujan yang kerap turun di Bogor. Selain itu, beberapa mobil sekaligus bisa berhenti dibawah beranda ini untuk menurunkan penumpang. Dalam pemugarannya itu, Bung Karno tetap memperhatikan gaya arsitektur Palladio, sedangkan jembatan kayu yang menjad penghubung bangunan utama dengan kedua sayapnya itu digantikan menjadi koridor.

Menjelang pertemuan politik lima negara sebagai tindak lanjut pertemuan Colombo 1954, pemugaran bangunan istana semakin dipercepat. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengundang para Perdana Menteri India, Burma, Sri Lanka, dan Pakistan untuk melanjutkan pembicaraan mereka yang belum mencapai kesepakatan itu di Indonesia. 

Pada tahun 1954 pula, di halaman istana yang luas itu dibangun dan dipugar lima buah pavillion yang terdiri dari Pavillion Amarta, Madukara, Pringgodani, Dwarawatin, dan Jodipoti yang kemudian lebih dikenal dengan Pavilliun 1,2,3,4, dan 5. Salah satu bangunan pavillion yaitu Amarta atau Paviliun 2 merupakan tempat favorit Bung Karno dan kerap menginap di sana bila sedang berada di Istana Bogor. Oleh Bung Karno pula, tiga buah pohon beringin di tanam di halaman Istana Bogor untuk menandai kelahiran tiga putranya yaitu, Guruh, Taufan, dan Bayu. 

Di sebuah lokasi bernama Batutulis yang terletak tidak jauh dari Istana Bogor, Bung Karno membeli sebidang tanah yang dibangunnya sebagai rumah pribadi. Ia kemudian menugaskan arsitek R.M. Soedarson untuk mendesain bangunan rumah yang kelak dihuninya di daerah tersebut. Adapun gaya arsitektur rumah pribadi Bung Karno itu mirip dengan Wisma Dyah Bayurini dan Istana Tampaksiring. Dari jendela berukuran lebar yang berada di ruang tamu, Bung Karno bisa melihat pemandangan nan indah berupa Sungai Cisadane yang mengalir nun jauh di bawah sana berlatar Gunung Salak. 

Pada tahun 1997, semuah masjid umum dibangun untuk menggantikan masjid sederhana yang telah terlebih dahulu ditambahkan di dekat dapur umum. Masjid itu sengaja diletakkan di bagian samping depan istana gar mudah dijangkau oleh masyarakat umum.  

Dibandingkan istana kepresidenan yang lain, Istana Bogor merupakan sebuah istana yang terbesar dan terluas. Rusa-rusa yang berhasil selamat dari buruan serdadau Jepang pada akhirnya beranak-pinak hingga mencapai lebih dari 700-an ekor, padahal populasi idel rusa di halaman istana hanyalah 300 ekor saja. Untuk mengurangi jumlahnya itu, beberapa ekor rusa kemudian dipindahkan tempat lain seperti ke Istana Tampaksiring di Bali, komplek Badan Intelijen Negara di Jakarta dan beberapa kantor Gubernur yang ada di Indonesia.  

Halaman rumput istana kemudian dihiasi dengan beberapa tempayan-tempayan besar yang terbuat dari tanah liat yang dibuat pada masa pemerintahan Bung Karno. Dari masa penjajahan Belanda masih tertinggal beberapa tempayan asli dari Cina. Menurut cerita, Bung Karno pernah mengutus seorang staf Istana untuk membeli tempayan yang biasa dipakai sebagai penyimpan kedelai di pabrik tabu kepunyaan orang-orang Tionghoa.

Akan tetapi, ternyata tidak seorang pun bersedia menjualnya karena benda itu selain langka memang sangat diperlukan dalam pembuatan tahu. Staf Istana itu kemudian diam-diam mencoba membuat tempayan semacam itu di Plered, sebuah tempat di Jawa Barat yang memang terkenal kerajinan tanah liatnya. Percobaan itu temyata berhasil, sehingga Bung Karno memesan banyak lagi tempayan besar dari Plered yang hingga kini menghiasi halaman Istana Bogor.
Beberapa pasang angsa juga sempat didatangkan dari Swiss oleh Bung Karno untuk dipelihara di kolam-kola Istana, namun sayang, suhu dan cuaca tropis membuat unggas-unggas itu tidak mampu bertahan lama. 


Menjelang 1960, Istana Bogor menjalankan fungsi yang sama dengan Istana Merdeka dan Istana Negara di Jakarta: sebagai tempat kediaman sekaligus tempat kerja Presiden Republik Indonesia. Bung Karno membagi waktunya antara Jakarta dan Bogor secara tetap, setelah menikahi Ibu Hartini di Istana Cipanas pada 1953. Setiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu ia akan berada di Istana Bogor; pada hari-hari lain, di Istana Merdeka Jakarta. Dengan pengaturan ini Ibu Hartini pun kemudian dimukimkan di Paviliun Amarta (Paviliun 2) Istana Bogor. Bangunan induk tetap dipergunakan untuk Ibu Fatmawati dan putra-putrinya. Di bangunan induk ini, Bung Karno dan Ibu Fatmawati menempati ruang depan dengan jendela menghadap ke halaman depan Istana Bogor.

Bilamana Bung Karno datang dengan helikopter ke Istana Bogor, Muhammad, Kepala Rumah Tangga Istana Bogor setelah Burcher, selalu memastikan ada lontong, sate ayam, dan nasi goreng pete kesukaan Bung Karno. Sebab, pada suatu ketika, Bung Karno sempat "hilang" dari Istana dan baru ditemukan beberapa saat kemudian setelah sebuah oplet menyelonong melewati gapura Istana. Penumpangnya temyata adalah Bung Karno. Ia baru saja keluar Istana berjalan kaki mencari lontong dan sate di Pasar Bogor, tepat di samping Istana, dan pulang naik oplet. Soekarno juga melakukan pertemuan dengan para tamu negara dan menteri-menteri di Istana Bogor. Sidang kabinet pun tak jarang diselenggarakan di sana. Di Istana Bogor pula Bung Karno mencanangkan pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian pada 31 Desember 1961.

Seiring dengan makin berperannya Indonesia dalam percaturan dunia, Istana Bogor mewadahi pertemuan lima Perdana Menteri pada 1954: Ali Sastroamidjojo (tuan rumah), Pandit Jawaharlal Nehru (India), Mohammad Ali (Pakistan), Sir John Kotelawala (Sri Lanka), U Nu (Burma). Pertemuan itu berhasil mencapai kesepakatan untuk menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun berikutnya -sebuah langkah awal strategis untuk mengokohkan kerja sama negara-negara Asia dan Afrika, yang juga merupakan cikal bakal Gerakan Non-Blok yang pada 1992 -1995 diketuai oleh Presiden Soeharto.

Hingga sekarang, ruang tempat pertemuan para perdana menteri lima negara itu masih disebut sebagai Ruang Pancanegara. Bendera-bendera kebangsaan lima negara masih menghiasi ruangan itu. Tatanan meja-kursi itu pun masih dipertahankan. Ruang Pancanegara itu terletak di gedung sayap kiri. Gedung yang memiliki enam kamar tidur yang bagi para tamu negara setingkat menteri ini dilengkapi juga dengan sebuah ruang makan dan ruang duduk. Pada masa Belanda, sayap kiri ini dipergunakan bagi hunian staf Gubemur Jenderal.

Gedung sayap kanan diperuntukkan tamu-tamu negara setingkat kepala negara atau kepala pemerintahan. Pada masa Belanda bagian ini juga menjalankan fungsi yang sama. Bagian ini hanya terdiri atas empat kamar tidur. Satu-satunya anggota keluarga Kerajaan Belanda yang pemah menginap di sini adalah Pangeran Willem Frederik Hendrik pada 1837. Beberapa raja dan presiden telah menjadi tamu Republik Indonesia di Istana Bogor.

Di bagian depan, di belakang serambi terbuka gedung induk Istana Bogor, terdapat sebuah bangsal yang kini dikenal dengan sebutan Ruang Teratai. Penamaan demikian bermula dengan adanya sebuah lukisan bunga teratai karya c.L. Dake, Jr. yang menjadi elemen artistik paling menonjol di ruang duduk itu. Ini adalah lukisan yang dibuat pada 1952 berdasarkan teratai besar (Victoria regia) dari Amazon, Brazil, yang menghiasi kolam di depan Istana Bogor.

Di antara Ruang Teratai dengan balairung utama di belakangnya, terdapat sebuah koridor kecil yang disangga empat saka berlaras Korintia. Pada dinding-dinding sisinya, tergantung cermin besar berbingkai emas yang diletakkan berhadapan, sehingga menciptakan refleksi seolah-olah ada seribu bayangan terpantul hingga nun ke ujung sana. Cermin ini dikenal dengan sebutan Kaca Seribu. Cermin dan saka-saka Korintia ini merupakan sedikit saja dari elemen artistik yang masih asli sejak dibangunnya Istana ini pada tahun 1850.

Balairung utama Istana Bogor sempat pula digunakan beberapa kali oleh Presiden Soekarno untuk pesta-pesta tari lenso. Ruang ini kemudian diberi nama Ruang Garuda karena penempatan lambang negara Garuda Pancasila pada dinding kepala. Balairung yang kini ditebari dengan permadani Persia adalah bagian yang paling anggun di Istana Bogor. Enam belas saka berlaras Korintia menopang langit-Iangit berbentuk kubah yang dihias relief bergaya Yunani. Beberapa kandelabra kristal digantung di langit-langit. 

Di Ruang Garuda ini diselenggarakan acara-acara yang bersifat formal: jamuan santap resmi, pertemuan pertunjukan kesenian, serta peristiwa penting lainnya.




Pada masa Bung Karno, beberapa kali diselenggarakan sidang kabinet di ruang ini. Presiden Soekarno juga beberapa kali menerima surat kepercayaan para duta besar di balairung ini. Pada masa Presiden Soeharto, di balairung ini diselenggarakan pertemuan para kepala negara APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) pada 1995.


Ruang tidur utama di gedung induk hingga kini masih dijuluki sebagai Kamar Raja. Di kamar itu terdapat sebuah tempat tidur yang panjangnya hampir tiga meter - khusus dibuat untuk Raja Ibnu Saud dari Saudi Arabia yang pernah berencana mengunjungi Indonesia. Sayangnya, ia membatalkan muhibahnya karena kondisi kesehatannya. Ruang ini dulu merupakan tempat tidur bagi putra-putri Presiden Soekarno.

Pada arah yang berlawanan, sebelum koridor menuju sayap kiri, adalah sebuah ruangan yang dulu dipakai Bung Karno sebagai tempat untuk memutar film. Setiap menjelang akhir pekan, petugas Istana Bogor berangkat ke Jakarta untuk mengambil film-film yang akan dipertunjukkan. Di samping keluarga dan staf Istana, Bung Karno juga sering mengundang pejabat setempat untuk ikut melihat pemutaran film.

Ruang kerja Presiden yang terletak di bagian kiri belakang gedung induk adalah ruang yang besar - bahkan lebih besar dari ruang kerja Presiden di Istana Merdeka dengan jendela-jendela dan pintu besar yang menghadap ke Kebun Raya.

Sejak ditinggalkan oleh Bung Karno, ruang ini tak pernah dipakai sebagai ruang kerja oleh para presiden berikutnya. Karenanya, ruang ini masih dibiarkan sebagaimana tatanan aslinya ketika masih dipergunakan Bung Karno. Sebuah tenunan songket dari benang emas ditaruh di atas meja kerja besar yang terbuat dari kayu jati. Meja kerja ini menghadap sebuah dinding yang semula mempunyai dua jendela. Dinding besar itu kemudian dimanfaatkan Bung Karno untuk menggantung lukisan besar karya pelukis Rusia, Konstantin Egorovich Makowsky, yang dihadiahkan kepada Bung Karno ketika berkunjung ke Uni Soviet pada 1956. Sebuah lukisan besar Makowsky lainnya tergantung di ruang makan Istana Bogor. Lukisan itu - dibuat pada 1891 dan menggambarkan Pesta Dewa Anggur - dibeli Bung Karno dari sebuah galeri di Roma pada 1961.

Di Paviliun Amarta (Paviliun 2), pada 11 Maret 1966, tiga orang petinggi militer ­Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Jusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud - menghadap Presiden Soekarno untuk membicarakan situasi keamanan dan politik Republik Indonesia. Dalam pertemuan itu, Presiden Soekarno didampingi oleh Wakil Perdana Menteri I (Waperdam), Dr. Soebandrio, Waperdam II, Dr. J. Leimena, dan Waperdam III, Dr. Chairul Saleh. Pertemuan inilah yang menghasilkan Surat Perintah Sebelas Maret, atau yang lebih dikenal sebagai Supersemar. Lepas dari polemik sejarah tentang Supersemar, dokumen yang ditandatangani di Istana Bogor itu menandai awal Pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun.

Istana di Kota Hujan ini tidak saja mewadahi momen-momen penting sejarah bangsa, melainkan juga perdamaian dan kerja sarna internasional maupun regional. Pada 25-30 Juli 1988, misalnya, di sini diselenggarakan The Jakarta Informal Meeting. Pertemuan ini khusus untuk membahas konflik di Kamboja yang dihadiri oleh perwakilan negara-negara ASEAN, Laos, dan Vietnam, juga empat faksi yang bertikai di Kamboja, yaitu Wakil Presiden Republik Demokrasi Kampuchea Khieu Samphan, Presiden Front Pembebasan Rakyat Khmer Son Sann, Pangeran Norodom Ranariddh sebagai Wakil Pribadi Raja Norodom Sihanouk, dan Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Kampuchea Hun Sen.

Istana Bogor menjadi tempat kelahiran Deklarasi Bogor ketika 18 kepala negara di kawasan Pasifik, di antaranya Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, berkumpul dalam konferensi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) pada 1995. Deklarasi Bogor adalah kesepakatan yang menentukan jadwal pelaksanaan pasar bebas untuk kawasan Asia-Pasifik mulai tahun 2003. Kenyataan bahwa bukan Istana Jakarta yang dipakai untuk pertemuan kepala negara APEC - dan tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok yang diselenggarakan di Balai Sidang Jakarta - barangkali membuktikan bahwa Istana Merdeka maupun Istana Negara terlalu kecil untuk penyelenggaraan peristiwa besar seperti itu. Terpilihnya Bogor sebagai tempat penyelenggaraan Summit APEC adalah juga karena pertimbangan keamanan.



Istana Bogor juga pernah dipakai sebagai tempat penataran Manggala/Penatar Nasional oleh BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) antara tahun 1979-1996. Semula program ini diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah. Setelah beberapa angkatan berjalan, Presiden Soeharto kemudian menyarankan agar acara demikian dilaksanakan di Istana Bogor. Selama penataran, para peserta tidur di kamar-kamar gedung utama maupun di paviliun­-paviliun Istana Bogor. Karena terbatasnya ruangan, satu kamar dihuni oleh sekitar tiga peserta.

Pengalaman seperti itu ternyata membuahkan kesan mendalam pada para peserta. Ada seorang pastor yang selalu bangun pagi dan membangunkan temannya sekamar - seorang kiai - agar menunaikan salat subuh. Pak Harto juga sering datang dan ikut duduk berdiskusi dengan para peserta penataran.
Boleh dikatakan semua pejabat tinggi negara dan anggota DPR hingga periode 1998 telah melewati pintu Istana Bogor untuk menjalani penataran maupun pembekalan. Mulai Januari 1996, di Istana Bogor diselenggarakan penataran yang sifatnya berbeda sama sekali. Penataran untuk pejabat tinggi, semua Eselon 1, gubernur, kepala staf angkatan, panglima, rektor, dan sebagainya yang lebih ditekankan pada acara diskusi untuk mengantisipasi dampak globalisasi.  Di tempat ini juga dilakukan Pembekalan Calon Anggota Legislatif dengan format diskusi bebas sekitar masalah konstitusional dan isu mutakhir.


Dalam peringatan "Indonesia Emas" - 50 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia - di halaman belakang Istana dipentaskan orkes simfoni yang dipimpin oleh konduktor Addie MS. Pada bulan April 1999, di tempat yang sama dipergelarkan pula sebuah konser amal untuk mengumpulkan dana bagi program kemanusiaan. Istana Bogor bahkan pernah menjadi tempat penyelenggaraan Pekan Buku Internasional pada 1971. Belakangan ini, Istana Bogor makin sering dipergunakan untuk pergelaran musik maupun kesenian yang lain.

Mengilas-balik sejenak ke masa lampau, Wisma Dyah Bayurini yang dibangun Bung Karno, tidak sempat dimanfaatkan seeara intensif oleh presiden pertama dan keluarganya karena kondisi politik yang memburuk sejak 1965. Namun, penggantinya, Presiden Soeharto, kemudian banyak memanfaatkannya, sebagai tempat bermalam bersama keluarga. Di masa ini dibangun sebuah kolam renang untuk putra-putri Pak Harto yang sebagian masih kecil-kecil dan sebagian lagi baru berangkat remaja. Ketika putra-putri itu sudah semuanya dewasa, Wisma ini jarang dikunjungi. Akan tetapi, ketika Presiden Soeharto sudah mulai memperoleh cucu-cucu, Wisma Dyah Bayurini pun jadi kembali semarak. Ibu Tien Soeharto sering mengajak cucu-cucu bercengkerama di tempat itu.

Pada masa Presiden Megawati, Istana Bogor mengalami perubahan interior dengan mengganti gorden menjadi vitrase, dan karpet wall-to-wall menjadi karpet lembaran dari Persia. Mebel-mebel bergaya art deeD yang semula diadakan oleh Bung Karno untuk Istana Bogor­ karya bengkel mebel Tsu Jiek di Jakarta - dikembalikan lagi ke tempatnya, untuk menggantikan mebel ukiran Jepara yang sempat dipakai selama puluhan tahun. "Mebel Bung Karno" itu terasa lebih hangat dan akrab dengan suasana Istana Bogor.

Sumber referensi:
Sekretariat Negara Republik Indonesia
setneg.go.id


Sumber gambar:
Wikimedia Common
gahetna.nl
Tropen Museum