Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berkhianat karena ambisi

Pada tahun 1733, Sultan Muhammad Zainul Arifin naik tahta menjadi penguasa Banten menggantikan ayahnya, Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin. Selama masa kepemimpinnya tahun 1733 s/d 1748, muncul banyak pemberontakan-pemberontakan dari rakyat yang tidak senang dengan kekuasaan VOC yang dianggap terlalu semena-mena. Namun sang istri, Ratu Syarifah Fatimah ingin mengambil alih kekuasaan dan bersekutu dengan VOC untuk memuluskan tujuannya itu. 





Demi tercapai ambisinya menguasai Banten, Ratu Syarifah merancang konflik di dalam keluarganya. Ia merancang konflik antara Sultan Zainul Arifin dengan putranya, Pangeran Gusti. Alhasil, putranya itu kemudian diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka). Ratu kemudian mendorong kemenakan laki-lakinya yang bernama Syarif Abdullah untuk menjadi putra mahkot baru pada tahun 1747. 

Menurut MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, putra mahkota yang baru itu nyatanya masih terlalu muda untuk memegang tampuk pimpinan, sementara Zainul Arifin mulai menunjukkan tanda-tanda penyakit jiwa. Karenanya, atas persetujuan Ratu Syarifah, VOC kemudian menangkap dan membuang Sultan Zainul Arifin ke Ambon. Atas restu VOC pula, Ratu Syarifah kemudian dinobatkan menjadi "Wali Sultan", namun kalangan elite Banten menentang pemerintahan Ratu Syariah yang menindas. 

"Proyek-proyek pembangunannya di Istana dibebankan kepada rakyat jelata dan kaum bangsawan," tulis Ricklefs seperti dikutip dari historia. 

Pertentangan semakin mencapai puncaknya dengan terjadinya pemberontakan besar pada 1750 di bawah pimpinan seorang guru agama yang bernama Kiai Tapa. Pertempuran besar pun terjadi, dan sebagian besar wilayah Banten jatuh ke tangan pemberontak. Sedangkan VOC hanya mampu mempertahankan dua bentengnya yang berada d dalam kota. 



Tak ingin menderita kekalahan di Banten dan Mataram, VOC kemudian mengambil langkah strategis yaitu menangkap Ratu Syarifah dan kemenakannya itu, lalu menahannya di Pulau Edam, Kepulauan Seribu. Rencananya, kedua orang itu akan diasingkan ke Saparua, Maluku. Namun, Ratu Syarifah keburu mennggal dan dimakamkan di Pulau Edam. 

"Pangeran Syarif Abdullah selanjutnya dibuang ke Banda dan hidup mewah di sana atas biaya VOC selama 39 tahun," tulis Thomas B. Ataladjar dalam Toko Merah. 

VOC menyerahkan tahta Kesultanan Banten kepada Arya Adi Santika saudara lelaki Sultan Zainul Arifin. Dia menjadi "Wali Sultan" sampai kembalinya putra mahkota yang diasingkan. 

Namun begitu, pengangkatan Arya Adi Santika tidak serta merta menghentikan pemberontakan yang terus terjadi. VOC bahkan mengerahkan lebih dari seribu pasukan yang terdiri dari orang-orang Eropa dan pribumi untuk memukul mundur pasukan pemberontak. Kiai Tapa melawannya dengan melakukan pembakaran, perampokan, dan pembunuhan di dataran-dataran tinggi Batavia. 

Menurut Ricklefs, Kiai Tapa dan pewaris tahta yang didukungnya, Ratu Bagus Buang, keponakan Sultan Zainul Arifin, berhasil menyelamatkan diri. Bagus Buang kemudian menghilang. Untuk beberapa waktu lamanya Kiai Tapa melancarkan serangan-serangan yang tidak teratur terhadap VOC di Selat Sunda, di dekat Bandung, dan Bogor. Sesudah itu, dia pergi ke arah timur untuk melibatkan diri dalam Perang Suksesi Jawa III (1746-1757), perang antara Paku Buwono II dan III yang dibantu VOC melawan Pangeran Mangkubumi yang dibantu Raden Mas Said; perang ini berakhir dengan Perjanjian Giyanti yang membagi kekuasaan menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dan, Kiai Tapa pun akhirnya menghilang.



Pangeran Gusti, putra Sultan Zainul Arifin, yang diasingkan dibawa kembali dari Sri Lanka pada 1753 dan diangkat menjadi sultan dengan nama Sultan Zainul Asyikin (1753-1777). Setelah itu,tulis Ricklefs, Banten secara resmi menjadi suatu wilayah jajahan VOC. Banten kembali damai tetapi perdamaian tercapai bersama-sama dengan tunduknya kepada kekuasaan VOC.