Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perlawanan Petani di masa Hindia Belanda

Pertama kali menjejakkan kakinya di tanah Nusantara, VOC ibarat menemukan bongkahan emas yang berceceran. Mereka pun berusaha dengan berbagai cara untuk bisa mendapatkan tanah yang subur seluas-luasnya demi kepentingan mereka. 





Ada tanah ada petani, suatu hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika ada masalah pertanahan maka petani pasti ada di dalamnya.  Sepanjang abad 19 – awal abad 20 permasalahan terjadi pada hak kepemilikan tanah partikelir yaitu tanah . 


Tanah partikelir muncul karena sebagai akibat praktek penjualan tanah oleh Belanda semenjak VOC sampai seperempat abad 19. Permasalahan yang terjadi pada tanah partikelir adalah adanya pungutan paksa pajak oleh “pemilik tanah” terhadap petani atau masyarakat yang menempati tanah tersebut.  Beberapa sikap para tuan tanah terhadap petani antara lain :

  • Memaksakan kehendaknya
  • Menuntut peguasaan tenaga kerja
  • Mengusir petani dengan alasan yang sangat memberatkan petani.
Pengawasan pemerintah dengan praktek penyimpangan mengenai tanah partikelir sulit untuk dilakukan, karena adanya kesalahan sistem birokrasi. Pengawas atau kepala daerah yang menjadi wakil pemerintah di setiap daerah-daerah, pengangkatannya tak akan bisa lepas dari intervensi si kaya dalam hal ini adalah para tuan tanah. Sehingga dalam kesehariannya para kepala daerah setempat banyak berpihak pada tuan tanah.





Para tuan tanah mengambil seperlima dari hasil panen para petani. Kesepakatan seperti ini diambil menjelang masa panen oleh kepala daerah, tuan tanah, dan petani. Melihat posisi itu, kita bisa mengindikasikan bahwa posisi petani sungguh dilema. Selain itu para petani juga dikenakan kerja lembur atau kerja paksa (kompenian) dengan jenis kerja yang beraneka ragam. Ada yang bekerja lembur selama lima hari dalam sebulan, tiga hari setiap bulan, kerja untuk pria yang masih kuat (kroyo), dan ronda desa (kemit). 


Tidak seperti sekarang dimana jaminan keselamatan kerja sudah ada, pada zaman tanah partikelir para petani tidak mendapat jaminan kesehatan, dan jaminan perlindungan jika ada gagal panen, dan halangan lainnya yang meyebabkan petani merugi.

Dari penindasan-penindasan seperti itulah yang menyebabkan terjadinya gerakan sosial atau pergolakan perlawanan yang bermula dari sengketa tanah partikelir. Selain itu adanya dominasi kekuasaan oleh orang Barat dalam berbagai bidang (politik, ekonomi, kultural) juga menjadi pemicu gerakan perlawanan. 


Dalam pembahasan lebih dalam lagi perlawanan petani akan dijiwai oleh semangat lain, yang semakin mengobarkan perlawanan terhadap hegemoni tuan tanah dan para penindas mereka. Pergolakan itu muncul sebagai puncak ketegangan, permusuhan, atau pertentangan dalam masyarakat pedesaan. Dalam pembahasan berikut akan kami sampaikan pada spesifikasi wilayah Jawa.

Gerakan Masa untuk Perlawanan

Daerah Jawa Barat menjadi contoh pergolakan para petani yang terus berulang. Gerakan-gerakan ini bukan hanya sebagai wujud ketidakpuasan petani terhadap tuan tanah tetapi lebih kepada sistem yang diterapkan dalam mengelola hasi pertanian dan kesejahteraan petani. Sebagai salah satu contohnya adalah peristiwa ciomas (1886) dengan tokoh utamanya tak lain adalah petani, tuan tanah, dan pemerintah. 


Kerusuhan di ciomas (Bogor) menunjukan beberapa kerusuhan antara petani dan tuan tanah. Sebab dari perlawanan para petani adalah seperti yang telah kami jelasan diatas, antara lain : para petani mendapatkan pajak atau cuke yang begitu besar dari hasil panen nya. 


Kemudian perlakuan tuan tanah dengan memperbudak para petani. Petani-petani tersebut disuruh mengangkat hasil panen nya dari sawah ketempat lumbung sejauh 15-18 km, wanita dan anak-anak turut pula dipekerjakan selama 9 hari setiap bulan.

Adanya dominasi politik, ekonomi, dan sosial yang dilakukan oleh tuan tanah terhadap kaum petani, telah membawa iklim yang lebih buruk dan pada akhirnya sampai mencapai konflik yang tajam. 


Salah satu akibat dari pelaksanaan eksploitasi tenaga kerja yang berat dan pemungutan cuke yang tinggi menjelang pecahnya perlawanan petani ialah terjadinya migrasi penduduk dari daerah itu. 

Bagi mereka yang tidak tahan lagi dengan praktik pemerasan tuan tanah dan merasa terancam akan kehancuran ekonominya segeralah angkat kaki meninggalkan tanah partikelir di Ciomas. Perasaan tidak puas petani untuk bekerja di tanah partikelir lebih nampak nyata ketika menolak kerja paksa di perkebunan kopi, dan mulailah mencetuskan perlawanan secara terbuka yang ditandai dengan tindakan kekerasan.

Perlawanan secara langsung diawali dengan melancarkan pemberontakan tanggal 22 Februari 1886, ketika mereka membunuh Camat Ciomas waktu itu RM. H. ABDURRACHMAN ADIMENGGALA dan masih pada bulan Februari itu juga Arpan bersama kawan – kawannya mengundurkan diri ke Pasir Paok, dan di sana mereka menolak untuk menyerah kepada tentara pemerintah kolonial.







Sebulan sebelum terjadinya kedua peristiwa tadi, Mohammad Idris telah mengundurkan diri ke Gunung Salak. Sekalipun ia lahir di Ciomas, namun dalam perjuangan hidupnya ia selalu berpindah – pindah tempat, seperti ke Sukabumi dan Ciampea. Ia termasuk salah seorang yang sangat membenci tuan tanah dan kaki tangannya. 


Karena sikapnya itu, maka semakin banyaklah petani pelarian dari tanah partikelir untuk menggabungkan diri. Setelah diadakan pertemuan besar di pondok kecilnya, Idris bersama pengikutnya bersepakat untuk melancarkan penyerangan ke Ciomas.

Dan tepat pada hari Rabu malam, tanggal 19 Mei 1886 sesuai dengan rencana semula Idris bersama pengikutnya berhasil menduduki daerah Ciomas bagian selatan. Selama menduduki daerah tersebut mereka tidak melakukan perampokan terhadap gudang – gudang di Sukamantri, Gadong, dan Warungloa. 


Bahkan sebaliknya mereka menyatakan, bahwa serangan yang dilancarkannya itu tidak dimaksudkan untuk merampok kekayaan, tetapi serangan tersebut hanya ditujukan khusus bagi pribadi tuan tanah.

Tanggal 20 Mei 1886 para pemberontak menyelenggarakan upacara sedekah bumi di Gadong, yang dihadiri juga oleh semua pegawai tuan tanah. Upacara tersebut sebenarnya merupakan perayaan tahunan yang dimeriahkan dengan permainan musik, tari – tarian, dan atraksi – atraksi lainnya. 


Sebagai penutup dari perayaan itu, seolah – olah seperti diberikan aba – aba, bahwa kaum pemberontak setelah melihat pegawai – pegawai tuan tanah yang sesungguhnya bertindak sebagai penindas dan memeras mereka, beberapa diantara pengikut Mohamad Idris segera melampiaskan kemarahannya menyerang agen – agen tuan tanah secra membabi buta. 

Perayaan sedekah bumi itu berakhir dengan pembunuhan besar – besaran yang ditujukan kepada pegawai – pegawai tuan tanah. Dari peristiwa pembunuhan tersebut, diketahui bahwa sejumlah 40 orang mati dibunuh, dan 70 orang lainnya luka – luka. Tuan tanah beserta keluarganya selamat, karena secara kebetulan mereka tidak hadir dalam upacara itu.

Dari panggung peristiwa perlawanan petani Ciomas itu, jelaslah bahwa yang menjadi sasaran utama dan sebgai musuhnya adalah tuan tanah, pegawai pemerintah kolonial baik asing maupun pribumi, para pedagang, dan lintah darat.

Gerakan perlawanan petani Ciomas memperlihatkan adanya spontanitas baik waktu timbul maupun selama masa berkembangnya, yang ditunjang juga dengan iklim atau situasi politik yang benar – benar telah diperhitungkan akan timbulnya gerakan perlawanan. 


Peristiwa perlawanan petani Ciomas merupakan suatu corak atau model perjuangan yang berlatar belakang perbedaan kepentingan dan tujuan anara tuan tanah, pemerintah, dan pegawai – pegawai lainnya dengan kaum petani di lain pihak. Pertentangan kepentingan dan tujuan itu, pada akhirnya dapat dilakukan dalam bentuk perlawanan secara keras dari pihak petani sebagai protes akibat tekanan – tekanan yang berat.

Peristiwa tersebut mmenjadi satu tonggak perlawanan petani dan rakyat terhadap keangkuhan para tuan tanah dan pemerintah setempat waktu itu, sehingga beberapa tahun kemudian peristiwa serupa terjadi di beberapa daerah di Indonesia seperti di:

  • Ciampea pada tahun 1913 yang dipicu oleh tindakan pengukuran tanah rakyat oleh pemerintah yang dianggap tidak adil.
  • Condet Surabaya pada tahun 1916 yang dipimpin oleh Entong Gendut yang menyerang para tuan tanah yang melakukan tindakan kekerasan.
  • Tangerang pada tahun 1924 yagn dipimpin oleh Kaiin yang disebabkan oleh tindakan sewenang-wenang pemerintah dan para tuan tanah. Dalam aksi tersebut kantor pemerintahan dan rumah para tuan tanah dibakar petani dan rakyat.
  • Kediri pada tahun 1907 yang dipimpin oleh Kiai Dermajaya yang menganggap dirinya sebagai ratu adil.  
Sumber:
Bogor Tempo Doeloe
Tjiomas Affair