Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Letusan Sejarah Gunung Krakatau

Senin, 27 Agustus 1883, tepat pukul 10.20, Krakatau mengeluarkan suara letusannya yang paling dahsyat sepanjang sejarah. Kekuatan letusannya bahkan setara dengan 150 megaton TNT yaitu 10.000 kali lebih kuat dari kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Letusan Krakatau waktu itu bahkan melenyapkan pulau-pulau dan memicu terjadinya dua tsunami besar dengan tinggi 40 meter yang menewaskan lebih dari 35 ribu orang.

Sejumlah laporan bahkan menyebut, korban meninggal dan hilang mencapai 120 ribu. Kerangka-kerangka manusia ditemukan mengambang di Samudera Hindia hingga pantai timur Afrika sampai satu tahun setelah letusan. 


Begitu hebatnya tsunami saat itu hingga mengubah lanskap pesisir barat Jawa, seperti Anyer dan Carita. Jejak tsunami ini bisa dilihat dari sebaran bongkahan terumbu karang di pesisir Banten dengan diameter 0,5 meter-5 meter. Terumbu karang itu terbongkar dari laut dan terangkat oleh tsunami. Salah satu batu karang terbesar yang ditemukan memiliki berat 600 ton yang hingga kini terdapat di halaman hotel di dekat mercusuar Anyer.

Tinggi tsunami di pesisir barat Jawa seperti di Merak, menurut kesaksian, mencapai lebih dari 25 meter, di Teluk Betung gelombang mencapai 15 meter, bahkan di beberapa tempat mencapai 35 meter.


dahsyatnya gelombang tsunami yang diakibatkan oleh letusan Krakatau telah mengangkat kapal uap Berouw yang saat itu berada di sungai Kaoeripan, Lampung dan menghempaskan kapal tersebut sejauh 3 mil ke daratan, menewaskan seluruh 28 awak kapalnya.
Terjadinya tsunami saat letusan Krakatau 1883 menimbulkan perdebatan. Para ahli geologi, oseanografi, dan paleotsunami menyusun sejumlah skenario penyebab tsunami, antara lain ledakan di bawah laut, runtuhnya kubah dalam skala besar di bagian utara Krakatau, dan luncuran piroklastik (awan panas).

Peta Tsunami pada saat terjadi letusan Krakatau
Suara ledakan dan gemuruh letusan Krakatau terdengar sampai radius lebih dari 4.600 km hingga terdengar sepanjang Samudera Hindia, dari Pulau Rodriguez dan Sri Lanka di barat, hingga ke Australia di timur.

Letusan tersebut masih tercatat sebagai suara letusan paling keras yang pernah terdengar di muka bumi. Siapapun yang berada dalam radius 10 kilometer niscaya menjadi tuli. The Guiness Book of Records mencatat bunyi ledakan Krakatau sebagai bunyi paling hebat yang terekam dalam sejarah.


"Akibatnya tak hanya melenyapkan sebuah pulau beserta orang-orangnya, melainkan membuat mandeg perekonomian kolonial yang berusia berabad-abad," demikian ungkap Simon Winchester, penulis buku Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883. Letusan Krakatau juga menciptakan fenomena angkasa. Lewat abu vulkaniknya. Abu yang muncrat ke angkasa, membuat Bulan berwarna biru.








Pasca letusan tersebut, Krakatau hancur sama sekali. Mulai pada 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau. Ia sangat aktif dan terus bertumbuh. Akankah ia akan meletus seperti induknya? Tak ada yang tahu.


gunung krakatau
Gunung Krakatau sebelum dan sesudah letusan besarnya

Hingga kini Gunung Anak Krakatau adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1.

 
Kesaksian Pribumi atas Kengerian Letusan Krakatau

Gaduhlah orang di dalam negeri
Mengatakan datang kapalnya api
Lalu berjalan berperi-peri
Nyatalah Rakata empunya bunyi
.......
Riuh bunyi di dalam perahunya
Bersahutan sama sendirinya
Seperti kiamat rupa bunyinya
Ramailah orang datang melihatnya

Demikian petikan transliterasi Inilah Syair Lampung Karam Adanya karangan Muhammad Saleh bait ke-14 dan 16. Syair ini dikumpulan oleh Suryadi dan diterbitkan dalam Syair Lampung Karam, Sebuah Dokumen Pribumi Tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883.

Gunung Krakatau (disebut Rakata dalam syair ini) meletus hebat pada 27 Agustus 1883. Nyaris semua catatan kajian ilmiah dan bibliografinya dilaporkan oleh orang asing. Tidak ada kesaksian pribumi yang ada di sekitarnya.

Sampai akhirnya ditemukan sumber tertulis pribumi yang terbit di Singapura dalam bentuk cetak batu (litografi) tahun 1883/1884. Kolofonnya mencatat 1301 Hijriah (November 1883 - Oktober 1884) dengan edisi pertama berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu.

Hingga muncul edisi keempat yang berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya, bertarikh 10 Safar 1306 H (16 Okotober 1888). Muhammad Saleh sebagai pengarang menjelaskan kehancuran desa-desa dan kematian massal akibat letusan 27 Agustus 1883.

Daerah macam Kitambang, Talang, Lampasing, Badak, Limau, hingga Merak, luluh lantak dilanda tsunami (yang dilaporkan hingga setinggi 40 meter), lumpur, hujan abu, dan batu. Betapa memilukan dan kacau situasinya saat itu. Tapi tidak sedikit yang memanfaatkan kesempatan untuk mengambil harta benda orang lain.

Dalam bait kesebelas syair itu, diceritakan bahwa aktivitas gunung dimulai sejak tiga bulan sebelumnya. "Terjadilah letusan yang amat dahsyat...gumpalan abu menyembur ke udara setinggi 70 kilometer, dibarengi dengan tsunami. Ombak setinggi 40 meter menyapu habis pantai sebelah Sumatra dan Jawa di kawasan selat Sunda," demikian penggambaran Suryadi yang sejumlah penelitiannya telah dimuat di berbagai jurnal internasional.

Kesaksian warga asing

Kengerian letusan Gunung Krakatau juga datang dari salah satu penumpang kapal Loudon yang lepas jangkar di Teluk Lampung. Ia merasakan gelombang perdana yang datang pasca-letusan.

"Kapal [Loudon] bertemu dengan kepala gelombang, Loudon terangkat dengan kecepatan yang memusingkan," kenang penyintas yang tidak disebutkan namanya itu.

Pejabat Hindia Belanda memperkirakan korban tewas 36.417 orang, 90 persen di antaranya karena tsunami. Berbulan-bulan kemudian, Selat Sunda dipenuhi dengan batu apung tebal dan mayat-mayat. Menurut kesaksian pejalan yang mengunjungi wilayah itu dua pekan setelah letusan, masih banyak mayat manusia dan hewan yang menanti dikubur dengan bau yang tidak bisa digambarkan.

sumber : nationalgeographic.co.id

Kiamat : Kiamat Kecil 

Banyak yang mengira kiamat sudah terjadi ketika gunung di Selat Sunda tersebut meletus. Ledakannya terdengar lebih dari 3.000 km, sampai ke Singapura. Letusan selama beberapa hari itu menyemburkan 21 kilometer kubik material vulkanik ke angkasa setinggi 80 km yang melampaui tempurung atmosfer.




Debu debu itu terbawa angin, bahkan sampai ke New York. Akibatnya, sinar matahari terhalang. Dunia, termasuk Eropa dan Amerika, menjadi kelabu selama 2,5 hari. Saat siang, langit tidak terang. Hanya memerah seperti senja. Pengaruhnya pada perubahan cuaca sangat terasa, bahkan hingga beberapa tahun.

Gelombang tsunami yang terparah akibat letusan gunung tersebut menyapu pantai Jawa Barat, Jakarta, serta Sumatera bagian selatan. Tentu saja, air bah yang membubung hingga 40 meter tersebut menyapu apa saja yang dilewatinya. Menggasak apa saja hingga berkilo kilo meter masuk ke pedalaman. Bayangkan, saat penduduk masih sangat jarang, korbannya begitu banyak.

Gelombang pasang di Selat Sunda itu juga dirasakan, bahkan sampai ke pantai Afrika, pantai barat Amerika, pantai barat Amerika Latin, sampai ke Selat Inggris. Meskipun tsunami di tempat yang jauh tersebut sudah melemah, hantaman gelombang yang “tidak normal” sangat dirasakan. Setelah tertidur dengan tenteram selama 200 tahun, gedung setinggi 790 meter itu seperti menumpahkan semua tenaganya.


Suara ledakan Krakatau terdengar di seperdelapan bagian bumi dan dapat didengar hingga Pulau Rodriguez (Mauritius) sejauh 4800 km di sebelah barat. Laporan suara ledakan yang sering kali disangka sebagai suara tembakan kanon ini juga datang dari Saigon, Bangkok, Manila, Aceh, Papua Nugini, sampai Perth, Darwin, atau Andaman di tengah Samudra Hindia.


Sejak saat meletus hingga kini, sangat banyak buku atau ulasan soal Krakatau dibuat para pakar Barat. Kini, di internet juga banyak diskusi soal gunung yang sekarang masih aktif, meskipun sudah sangat lemah itu. Semuanya mengenang dengan rasa ngeri. Ketika Dunia Meledak, demikian salah satu judul situs di internet soal Krakatau.

Salah satu ikon yang paling terkenal sebagai pengingat Krakatau tersebut adalah lukisan maestro Edvard Munch yang berjudul Scream (Pekik Ngeri). Lukisan itu dibuat pada 1893 atau 10 tahun setelah Krakatau meledak. Idenya muncul ketika Munch serta kawan kawannya berjalan di pantai Norwegia dan melihat langit merah karena letusan Krakatau.


Lukisan aschoft tahun 1883, yang menggambarkan suasana langit di inggris pada saat letusan krakatau terjadi.
Suara letusan bukanlah satu-satunya hal spektakuler dari letusan Krakatau pada tahun 1883. Krakatoa Royal Society yang didirikan di London pada awal tahun 1884 mendapatkan tugas dari dewan penasihat Royal Society untuk mengumpulkan berbagai informasi dan fenomena yang berhubungan dengan letusan Krakatau. Semua informasi yang masuk diperiksa ulang dengan tingkat presisi yang setinggi mungkin. Diperlukan waktu sekitar lima tahun untuk meneliti semua informasi itu hingga laporan akhir diterbitkan pada tahun 1888.

Dari seabreg informasi yang berhasil dikumpulkan oleh Krakatoa Royal Society itulah kini kita dapat mengetahui berbagai kejadian unik dan spektakuler di pelosok dunia sehubungan dengan efek dari letusan Krakatau. Di antaranya cerita tentang sebaran abu vulkanik Krakatau yang mencapai New York pada bulan November 1883 dan telah menyebabkan para petugas pemadam kebakaran di Poughkeepsie dengan semangatnya berlari mendatangi lokasi terlihatnya sebuah cahaya kebakaran.

Sambil terus membunyikan lonceng-lonceng tanda kebakaran, mereka tiba di sisi sungai. Namun pasukan pemadam kebakaran yang terkenal sigap ini harus kecewa karena lokasi datangnya cahaya kebakaran ternyata masih berada jauh di seberang sungai. Kemudian hari diketahui tak ada kebakaran di sekitar Poughkeepsie. Yang terjadi saat itu adalah fenomena afterglow yang luar biasa.

Afterglow adalah rona cemerlang yang tampak membara yang muncul di langit setelah matahari tenggelam beberapa saat. Sebaran abu vulkanik dari letusan Krakatau telah melanglang dunia dan menghalangi sinar matahari sehingga ketika bersinggungan dengan awan debu menimbulkan efek warna merah membara, atau seperti yang dikatakan oleh Kapten Faircloth dari Caribbean Signal Service, “kilauan yang mengerikan.”


Letusan Sebelumnya lebih dahsyat 

Letusan Krakatau pada 1883 ternyata bukanlah yang terdahsyat. Sudah lama diketahui ada sesuatu yang aneh di sekitar tahun 535 – 536 CE. Kala itu atmosfer Bumi mendadak menggelap sehingga cahaya Matahari yang jatuh ke Bumi diperkirakan tinggal 25 % saja dari intensitasnya semula. Uskup John dari Efesus di Syria mencatat Matahari mendadak jadi gelap selama 18 bulan kemudian, dan setiap harinya sang surya ini hanya menampakkan wajahnya selama 4 jam saja, itu pun samar-samar.


Sebuah catatan di Cina menyebut suara dentuman sangat keras terdengar dari arah barat daya. Sementara di Jawa, Catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa (Pararaton), Isinya antara lain menyatakan:
"Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula.... Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera."
Semua catatan itu merujuk ke sekitar tahun 535 CE.

Kegelapan itu berimplikasi sangat serius pada kemaharajaan Romawi Timur dan Persia yang sedang memuncak. Wabah sampar bergentayangan dimana-mana dan merenggut banyak korban jiwa pada periode yang takkan pernah dilupakan Eropa. Di Cina dan India kelaparan besar berkecamuk, melebihi tragedi kelaparan Ethiopia 1980-an. Di Jazirah Arabia selatan, kerajaan-kerajaan besar runtuh. Komunitas Kristen Arian juga berakhir. Sementara nun jauh di benua Amerika, Teotihuacan berakhir. Metropolitan Tikal yang dibangun bangsa Maya dengan susah payah pun runtuh. Demikian pula peradaban Nazca.

Apa penyebab semua peristiwa dahsyat ini? Para astrofisikawan seperti Dallas Abbott semula menduga ini semua terkait dengan tumbukan benda langit, sebagaimana yang meruntuhkan peradaban manusia di zaman perunggu dan belakangan diketahui terkoneksi dengan terbentuknya Kawah Burckle (29 km) di kedalaman Samudera Hindia. Namun petunjuk terang datang dari lembaran2 es di Antartika dan Arktika. Pada contoh2 es dari tahun 535 – 540 CE dijumpai ion-ion Belerang vulkanik sangat melimpah, menunjukkan peristiwa kegelapan itu lebih terkait dengan aktivitas vulkanik yang luar biasa. Dan karena belerang-belerang itu ditemukan di kedua kutub Bumi, hanya gunung api di wilayah ekuator saja yang bisa melakukan itu. Itulah Krakatau (purba).

Hal ini mendorong K. Wohletz, vulkanolog di Los Alamos National laboratory, membuat simulasi komputer letusan Krakatau purba 535 CE berdasarkan hasil penelitian dan pemetaan geologi seperti dari Escher dan RDM Verbeek di masa Hindia Belanda. Letusan itu memang luar biasa, melontarkan sedikitnya 200 kilometer kubik tephra ke langit dengan energi letusan mencapai 400 megaton TNT. Letusan paroksimal terjadi selama 34 jam (bandingkan dengan Krakatau 1883 yang hanya 10 jam), namun keseluruhan letusan berlangsung hingga 10 hari kemudian. Terbentuk kaldera berdiameter maksimum 60 km. Tephra yang disemburkan ke langit membentuk lapisan setebal 20 – 50 meter, yang berakibat temperatur global menurun drastis hingga 5 – 10º C dari normalnya sampai 10 – 20 tahun kemudian (semua angka ini diambil dari tulisan Awang dalam IAGI-Net). Harus dicatat bahwa volume 200 kilometer kubik ini adalah volume minimal. Letusan Tabora 1815 juga menyemburkan 200 kilometer kubik tephra ke langit dan cahaya Matahari yang jatuh ke Bumi saat itu masih 75 % dari intensitas semula.

Bagi Indonesia, meski belum banyak diteliti, dampak letusan Krakatau purba 535 CE bisa diduga cukup luar biasa. Letusan inilah yang diduga kuat mengakhiri kerajaan Hindu Tarumanegara yang baru saja mencapai puncak kejayaan di bawah Purnawarman. Lahan pertanian di kerajaan ini musnah oleh tumpukan kerikil dan abu vulkanis, sementara pelabuhan-pelabuhannya musnah terhempas gelombang pasang produk letusan. Pola-pola kerusakan di situs percandian Batujaya (Karawang), yang pada abad ke-6 CE berada di tepi Laut Jawa dan merupakan percandian yang mengagumkan dan lebih luas ketimbang Borobudur, menunjukkan keganasan tsunami itu.



Sumber : segala sumber