Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Antara Raden Saleh dan Kota Bogor

Bogor (sebelumnya bernama Buitenzorg) adalah sebuah kota dimana seorang maestro lukis Indonesia Raden Saleh ditemukan dan diakui dunia. Sedemikian besarnya kecintaan pada lingkungan dan masyarakat Bogor sehingga memilih untuk dimakamkan di pemakaman keluarga Sunda di Bondongan, Bogor. Sebuah daerah perbukitan yang dahulu pernah berdiri benteng pertahanan Pakuan Kerajaan. 

Arti Bogor bagi Raden Saleh




Raden Saleh lahir di Terboyo, Semarang. Namun ada lima versi yang menyangkut tahun kelahirannya yaitu 1806, 1807, 1811, 1813, dan 1814. Terlahir dari keluarga bangsawan Jawa. Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal dan ibu bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen. Kakek buyut dari garis ibu adalah Kyai Ngabehi Kertoboso atau Sayyid Abdoellah Boestaman, yang pernah menjadi penguasa Terboyo, sedangkan neneknya adalah Nyai Sayid Alwi bin Awal bin Yahya. 


Semenjak kecil, Raden Saleh diasuh oleh Raden Adipati Surohadimenggolo sang paman yang menjabat sebagai Bupati Semarang dan bersimpati pada perjuangan Diponegoro. Kakak sepupunya, R. Sukur turut andil dalam perjuangan Diponegoro sampai kemudian tertangkap lalu dibuang. 

Saleh kecil tinggal bersama keluarga itu hingga tahun 1817. Bakat menggambarnya sudah tampak sewaktu ia masih bersekolah di sekolah rakyat. Pada tahun 1817, oeh pamannya yang lain yang menjadi Bupati Majalengka, R. Adipati Ario Panji Kartadiningrat, Saleh kemudian dikirim belajar di bawah pengawasan Residen Priangan, Baron Robert van der Capellen. 

Dua tahun kemudian yaitu tahun 1819, Saleh melanjutkan pendidikannya di Buitenzorg di tempat kediaman Gubernur Jenderal G.A.G. Baron van der Capellen yang adalah kakak dari residen Priangan (Cianjur). Raden Saleh belajar di bawah pengawasan Prof. C.G. Carl Reindwardt seorang ahli botani asal Jerman. Reinwardt juga yang merintis pengembangan Lands Plantentuin te Buitenzorg (Kebun Raya Bogor) dan memegang jabatan sebagai Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan di Hindia Belanda pada tahun 1817.

Raden Saleh dibimbing pula oleh A.J Payen seorang peluki Belgia yang pada waktu itu ditugaskan menggambar alam flora dan fauna untuk kepentingan Lands Plantentuin (Kebun Raya). Hasil 10 tahun belajar di Bogor itu, Raden Saleh telah memiliki kepandaian dalam menggambar alam dan peta, ilmu ukur, kesenian dan bahasa. 

Melihat kecerdasan anak didiknya itu, Payen kemudian mengusulkan kepada Gubernur Jenderal van der Capellen (1819-1826) untuk mengirimkan Raden Saleh belajar di Belanda. Usulan itu diterima sang Gubernur Jenderal, pada tahun 1829 menjelang padamnya Perang Jawa oleh Pangeran Diponegoro, Capellen membiayai Raden Saleh untuk belajar di Belanda. 

Setelah merantau selama 20 tahun di Eropa dan mulai dikenal sebagai pelukis, Raden Saleh kembali ke Hindia-Belanda. Bersama istrinya seorang perempuan Belanda yang kaya raya, Constancia von Mansfeldt atau Constancia Winckelhagen, Raden Saleh membangun sebuah rumah di daerah Cikini. 

Raden Saleh berkacak pinggang di teras rumahnya Puri Cikini


Sebuah puri yang memiliki halaman luas itu dibangunnya mengikuti bentuk Istana Callenberg di Beiersdorf, tempat dia pernah tinggal saat berada di Jerman. Pada tahun 1862, sebagian besar halaman puri Cikini kemudian dihibahkan untuk pembangunan Kebun Binatang pertama di Batavia dan taman umum. 

Setelah bercerai dari Constancia, Raden Saleh menikahi R.A. Danudirejo, anak RMT Kertawangsa Kelapa-Aking (Kolopaking), pengikut Pangeran Diponegoro. Keduanya kemudian mentap di Buitenzorg dari tahun 1868 sampai 1880. Dari dua kali pernikahannya, Raden Saleh tidak memiliki keturunan. 

Memiliki masa remaja di Bogor memberikan kesan tersendiri bagi Raden Saleh. Sejak 1871 sampai wafatnya pada 23 April 1880, dia berdiam di Bogor dan telah menjalin persahabatan yang luas. 

Rumah terakhir Raden Saleh adalah sebuah rumah sewaan yang berada di samping Hotel Bellevue yang menghadap Kebun Raya. Rumah yang ditempati Raden Saleh itu kini menjadi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor di Jalan Ir.H.Djuanda, Bogor. 

Rumah terakhir Raden Saleh yang kini menjadi KPP Pratama di Jln Juanda Bogor


Jika kita mengunjungi rumah terakhir Raden Saleh, nyaris tidak tersisa lagi ciri-ciri bangunan kolonial. Facadenya sudah ditutupi dinding berlapis keramik. Meskipun atapnya masih mempertahankan gaya lama, namun gentingnya sudah berganti menjadi genting berglazur. 

Peninggalan yang masih dapat ditemukan adalah pintu bawah tanah yang terletak di dinding kiri bangunan. Keseluruhannya ada empat buah pintu bawah tanah yang masing-masing berukuran 1x2 meter, dua di dinding kiri dan dua lagi di dinding kanan.



Konon, Raden Saleh pernah menjadikan ruang bawah tanah itu sebagai kandang macan peliharaannya. Bentuk pintu yang kecil memang sesuai peruntukannya sebagai pintu masuk untuk macan. 

Rumah di samping Hotel Bellevue itu juga menjadi saksi terakhir kehidupan sang maestro lukis dunia. Di rumah ini, Raden Saleh wafat dan dari sini pula, dua hari kemudian, jenazahnya diantar oleh rombongan besar ke Bondongan. Koran Java Bode terbitan 28 April 1880 menampikan berita: 

“Pada hari Minggoe tanggal 25 April djam 6 pagi matinya Raden Saleh diiringi banyak toean-toean ambtenaar, kandjeng toean Assistant, toean Boetmy, dan lain-lain toean tanah, hadji-hadji, satoe koempoelan baris bangsa Islam, baik jang ada pangkat jang tiada berpangkat dan orang Djawa, sampe anak-anak Djawa dari Landbouwschool semoea anter itoe mait ke koeboer.

“Penghulu-penghulu, kiai-kiai, dan orang-orang alim soedah djoega ikoet anter. Itoe orang-orang Selam dan Djawa dan apa lagi itoe jang alim-alim soedah njanji sepandjang djalan dengan soeara jang sedih; “Awlloh hoema salim, Awlloh sajidina Moehammad Rasoeloellah.”
 

Sumber dan referensi:
National Geographic
 

Gambar:
HetNationalArchief (TropenMuseum)
National Geographic