Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perjalanan hidup seorang Soedirman


Panglima Besar Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh penting yang pernah dimiliki negeri ini. Dia pejuang dan pemimpin teladan bangsa. Pribadinya teguh pada prinsip, keyakinan dan selalu mengedepankan kepentingan rakyat dan bangsa di atas kepentingan pribadinya.


Sudirman yang lahir 24 Januari 1916 dari keluarga petani kecil, di desa Bodas karangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya merupakan seorang mandor tebu pada sebuah pabrik gula yang ada di Purwokerto. Semenjak bayi Soedirman diangkat anak oleh asisten wedana (camat) di Rembang, R. Tjokrosunaryo. Sebelum memasuki dunia kemiliteran, Sudirman berlatar belakang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan aktif kepanduan Hizbul Wathan.


PERJALANAN HIDUP SEORANG SUDIRMAN

Dikisahkan, sekitar 50 km dari Kota Purbalingga, ada seorang ulama bernama Kyai Haji Busyro Syuhada. Sang ulama ini memiliki sebuah pesantren yang terletak di desa Binorong, Banjarnegara. Selain dikenal sebagai ulama, Kyai Busyro ini juga seorang pendekar pencak silat (ketika itu istilahnya pencak ragawi dan batin).

Sebagaimana pesantren-pesantren pada umumnya, para santri diajarkan ilmu agama dan juga ilmu beladiri (pencak silat). Aliran Pencak silat yang dilatihkan kepada santri-santrinya ini dikenal dengan nama Aliran Banjaran yang pada intinya mengkombinasikan ilmu batin dengan ilmu dhohir. Yang mana dikemudian hari pencak silat yang dirintis Kyai Busyro Syuhada ini menjadi cikal bakal perguruan silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah

Suatu hari, Sudirman menyempatkan diri untuk berkunjung ke pesantren asuhan Kyai Busyro di Banjarnegara tersebut dengan tujuan ber- silaturrahmi. Pada saat itu Sudirman masih bekerja sebagai guru di Cilacap. Dalam pertemuan tersebut, tiba-tiba saja Kyai Busyro menangkap suatu firasat saat berhadapan dengan Sudirman.

Kyai Busyro menyarankan agar Sudirman mau tinggal sementara waktu di pesantren dan memiliki keinginan agar Sudirman mau menjadi muridnya, dengan tidak menyebutkan alasan sesungguhnya, dan tentu saja hal ini membuat Sudirman terkejut mendengar saran Kyai Busyro Syuhada. Akan tetapi beliau menyambutnya dengan antusias. Bagaimanapun juga, saran dan nasehat seorang ulama tentu baik dan pasti ada alasan-alasan khusus yang tidak dapat diungkapkan.

Selanjutnya Sudirman muda yang masih berusia sekitar 25 tahun menjadi seorang santri di pesantren asuhan Kyai Busyro Syuhada. Selama menjadi muridnya, Sudirman muda diperlakukan dengan khusus oleh Kyai Busyro, bahkan terkesan diistimewakan. Apapun keperluan Sudirman muda waktu itu baik urusan makan atau minum selalu siap disediakan.

Bahkan Kyai Busyro sengaja menyediakan seorang pelayan khusus untuk murid spesialnya itu. Pelayan itu masih keponakan Kyai Busyro sendiri yang bernama Amrullah. Saat itu usia Amrullah lebih muda 5 tahun dibandingkan Sudirman.

Meski sudah dianggap sebagai murid kesayangan, tetapi Sudirman diharuskan juga berpuasa dan diperintahkan untuk rutin menjalankan shalat malam. Meskipun dalam kondisi sedang berpuasa Sudirman muda kerap kali diperintahkan untuk melakukan pekerjaan keras seperti memotong beberapa pohon yang ada di dekat pesantren. Batang-batang pohon itu kemudian diseretnya. Lalu dimasukkan ke dalam kolam atau empang. Pekerjaan itu dilakukan sendirian tanpa dibantu siapapun. Setelah matahari terbenam, batang pohon itu harus dikeluarkan lagi dari kolam.

Saat Sudirman hendak berbuka puasa dan sahur, Amrullah lah yang bertugas menyediakan makanan dan minuman. Di samping itu, Kyai Busyro juga memberi amalan zikir atau hizib khusus kepada Sudirman untuk dibaca setiap harinya. Secara hampir bersamaan, hizib ini juga diamalkan Amrullah (kelak Amrullah menjadi ulama di Wonosobo, Jawa Tengah).


Pada tahun 1942, Kyai Busyro meninggal dunia. Melihat kenyataan itu, Sudirman memutuskan kembali ke kampung halamannya di Purbalingga. Namun tidak berapa lama kemudian balatentara Jepang mulai menjajah Indonesia. 



MEMULAI KARIER KEMILITERAN

Pada saat Jepang mulai mendirikan PETA, Sudirman muda tertarik dan mengikuti  pendidikan Tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor ( sekarang menjadi Museum PETA). Setelah pendidikan militernya selesai, Sudirman diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. 

pada waktu itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang. Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. 

Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. 

Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. 

Sudirman memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya yang luar biasa.

Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibelakang mereka. Atas dasar itulah, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. 

Demikian pula yang terjadi pada Desember 1945, pasukan TKR pimpinan Jendral Sudirman terlibat pertempuran sengit melawan pasukan Inggris di Ambarawa. 

Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. 

Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mundur ke Semarang.


AGRESI MILITER II BELANDA

Pada saat Militer Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI waktu itu dipindahkan ke Yogyakarta dikarenakan Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai oleh musuh. 

Jenderal Sudirman yang pada saat itu  berada di Yogyakarta sedang dalam kondisi yang sakit, keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya hanya tinggal satu yang berfungsi.

Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggung jawabnya sebagai pemimpin tentara.

Maka dengan dibantu oleh tandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dan dalam keadaan fisik yang sedang sakit dan lemah, sementara obat-obatan juga bisa dibilang hampir tidak ada. 

Tapi meskipun dengan kondisinya tersebut, kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dirinya tidak merasakan penyakit apapun, namun akhirnya ia harus terpaksa pulang dari medan gerilya, meskipun Beliau tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.

Seorang jenderal yang shalih, senantiasa memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka menegakkan kemerdekaan sebagai bagian dari wujud pelaksanaan jihad fi sabilillah. Dan ini ia tanamkan kepada para anak buahnya, bahwa mereka yang gugur dalam perang ini tidaklah mati sia-sia, melainkan gugur sebagai syuhada. 

Untuk menyebarluaskan semangat perjuangan jihad tersebut, baik di kalangan tentara atau pun seluruh rakyat Indonesia, Jenderal besar ini menyebarkan pamflet atau selebaran yang berisikan seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan Belanda dengan mengutip salah satu hadits Nabi. “Insjafilah! Barangsiapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnja) beloem pernah toeroet berperang (membela keadilan) bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia diatas tjabang kemoenafekan.” 

Perang gerilya yang dilakukan, tak luput dari mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. 

Sewaktu berada di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap di desa Sukarame, Panglima Besar Soedirman yang memiliki naluri seorang pejuang, menganggap desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukannya. Maka beliau pun mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah besarta para sahabatnya saat akan berhijrah.

Setelah shalat subuh, Pak Dirman yang memiliki nama samaran Pak De dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan. Mantel yang biasa dipakai olehnya ditinggal dalam rumah di desa itu, termasuk beberapa anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo Rustam dan Heru Kesser. Pagi harinya Heru Kesser segera mengenakan mantel tersebut dan bersama Suparjo Rustam berjalan menuju arah selatan, sampai pada sebuah rumah barulah mantel tersebut dilepas dan mereka berdua bersama beberapa orang secara hati-hati pergi menyusul Soedirman. 

Kemudian pada sore harinya pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya memborbardir rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo Rustam, dan ini membuktikan betapa seorang Panglima sekaligus dai ini begitu menguasai taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam.

Beliau –{ dalam keadaan sakit parah, paru2 tinggal sebelah }– tetap memaksakan diri bergerilya melawan Belanda. Bukan materi yg beliau kejar, bukan gaji besar, bukan fasilitas. Dalam perang ini Beliau bahkan tidak digaji, begitu juga seluruh pejuang Tanah Air, mereka murni mendambakan negara yang bebas, merdeka, adil dan tenteram. ( tidak terbayang apa dalam pikiran mereka jika masih hidup, begitu melihat kondisi Negara ini saat ini .. Korupsi dimana-mana, Para pejabat yang bermain wanita, .. sungguh Ironis! )  

Presiden dan Perdana Menteri sudah ditangkap oleh militer Belanda dalam Agresi Militer (Aksi Polisionil) Belanda ke-2. Beliau pun rela menjual perhiasan istrinya untuk modal perjuangan, berpindah dari hutan ke hutan, dengan kondisi medan yg sangat berat, dibayang-bayangi pengejaran tentara Belanda lewat darat dan udara.


Pak Dirman -{dalam keadaan sakit parah digerogoti TBC dan paru2 tinggal satu }- memimpin perang gerilya dari atas tandu.

Inilah para gerilyawan yang beliau pimpin, berjuang keluar masuk hutan naik turun gunung demi kita anak cucu mereka.

Berjuang dengan persenjataan seadanya, melawan musuh yang memiliki persenjataan modern didukung kekuatan laut dan udara



Di tengah kondisi kesehatan beliau yg makin mengkhawatirkan itu, banyak pihak yg menyarankan agar beliau berhenti bergerilya, namun semangat juang beliau tidak dapat dipatahkan oleh siapapun juga. Beliau terus gigih berjuang, tidak mempedulikan lagi keselamatan dirinya. Bagi beliau, lebih baik hancur dan mati daripada tetap dijajah. 

Berkat perjuangan yg tak kenal menyerah itulah, Belanda kewalahan secara militer. Kekuatan gerilya Pak Dirman luar biasa. Belanda hanya mampu menguasai perkotaan, sedangkan di luar itu, sudah masuk wilayah gerilya tentara dan pejuang kita. Di sisi lain, tekanan diplomatis terhadap Belanda juga bertubi2, karena dunia internasional melihat bahwa dengan eksistensi TNI yg ditunjukkan oleh Pak Dirman membuktikan bahwa Republik Indonesia itu ada, dan bukan sekedar kumpulan gerombolan ekstrimis seperti yg santer dipropagandakan Belanda.

Akhirnya, Belanda pun benar2 angkat tangan, dan terpaksa mengajak RI untuk berunding kembali. Perjanjian Roem Royen pun terwujud pada tanggal 7 Mei 1949, dimana Indonesia dan Belanda sepakat untuk mengakhiri permusuhan. Presiden pun telah dibebaskan oleh Belanda dan dikembalikan ke ibukota negara, waktu itu masih Yogyakarta. Namun ini masih belum final dan Pak Dirman tetap belum yakin dengan hasil perjanjian itu. Beliau tetap bersikeras melanjutkan perjuangan sampai seluruh tentara Belanda benar-benar hengkang dari tanah air.

Akhirnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX meminta kepada Kolonel Gatot Soebroto untuk menulis surat kepada Pak Dirman agar bersedia kembali ke ibukota. Berikut adalah penggalan surat Kolonel Gatot Soebroto yang meminta Pak Dirman untuk berhenti bergerilya dan beristirahat ( dengan ejaan yang sudah disempurnakan ).

“…tidak asing lagi bagi saya, tentu saya juga mempunyai pendirian begitu. Semua-semuanya Tuhan yang menentukan, tetapi sebagai manusia diharuskan ikhtiar.

Begitu pula dengan keadaan adikku, karena kesehatannya terganggu harus ikhtiar, mengaso sungguh-sungguh, jangan mengalih apa-apa.

Laat alles waaien. Ini bukan supaya jangan mati konyol, tetapi supaya cita-cita adik tercapai.

Meskipun buah-buahnya kita tidak turut memetik, melihat pohonnya subur, kita merasa gembira dan mengucapkan banyak terimakasih kepada Yang Maha Kuasa.
Ini kali saya selaku Saudara tua dari adik minta ditaati…”

Pak Dirman pun akhirnya luluh. Bagaimanapun, perjuangan adalah jalan beliau, dan kini beliau menyadari, bahwa hasil perjuangan itu sudah mendekati akhirnya.

Sebagai persiapan pulangnya Pak Dirman ke ibukota, Sri Sultan pun mengirimkan pakaian kebesaran. Namun dengan halus dan bijaksana, kiriman itu beliau tolak. Pak Dirman memilih datang sebagaimana adanya sebagaimana ketika meninggalkan ibukota untuk bergerilya, dengan segala kekurangan dan penderitaan.

Beliau datang dengan tandu, dikawal banyak sekali anak buah beliau yang mencintai beliau. Setibanya di Gedung Agung, Presiden Soekarno langsung menyambut dan merangkul beliau.
Bung Karno merangkul Pak Dirman yang akhirnya tiba kembali di ibukota negara setelah berbulan2 bergerilya keluar masuk hutan. Bung Karno sendiri tidak tahan melihat kondisi Pak Dirman yang tampak kurus dan sangat lusuh…



Perundingan pun berlanjut kepada Konferensi Meja Bundar. Puncaknya, tidak lama berselang, Belanda terpaksa mengakui kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949, dan benar-benar hengkang dari ibu pertiwi.


Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda, 27 Desember 1949, yg merupakan hasil jerih payah perjuangan Pak Dirman

Pak Dirman sepertinya memang ditakdirkan hanya untuk berjuang, bukan untuk menikmati kemerdekaan yg telah beliau perjuangkan. Beliau wafat dalam sakit beliau pada tanggal 29 Januari 1950, hanya berselang 1 bulan setelah pengakuan kedaulatan RI.

Pemakaman Pak Dirman, 29 Januari 1950,
hanya 1 bulan berselang setelah Pengakuan Kedaulatan RI


Kata-kata Mutiara Jendral Sudirman

Yogyakarta 12 November 1945
Tentara hanya memiliki kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya, sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tunduk kepada pimpinan atasannya dengan ikhlas mengerjakan kewajibannya, tunduk kepada perintah pimpinannya itulah yang merupakan kekuatan dari suatu tentara. Bahwa negara Indonesia tidak cukup dipertahankan oleh tentara saja, maka perlu sekali mengadakan kerjasama yang seerat-eratnya dengan golongan serta badan-badan di luar tentara. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau siapapun juga.
Diucapkan dihadapan konferensi TKR dan merupakan amanat pertama kali sejak menjabat sebagai Pangsar TKR. Yogyakarta , 1Januari 1946

Tentara bukan merupakan suatu golongan di luar masyarakat, bukan suatu "kasta" yang berdiri di atas masyarakat. Tentara tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian masyarakat yang mempunyai kewajiban tertentu.
Amanat yang tertuang dalam maklumat TKR. Yogyakarta 17 Pebruari 1946

Kami tentara Republik Indonesia akan timbul dan tenggelam bersama negara.
Amanat dalam rangka memperingati setengah tahun kemerdekaan RI. Yogyakarta 9 April 1946

Jangan sekali-kali diantara tentara kita ada yang menyalahi janji, menjadi pengkhianat nusa, bangsa dan agama, harus kamu sekalian senantiasa ingat, bahwa tiap-tiap perjuangan tertentu memakan korban, tetapi kamu sekalian telah bersumpah ikhlas mati untuk membela temanmu yang telah gugur sebagi ratna, lagi pula untuk membela nusa, bangsa dan agamamu, sumpah wajib kamu tepati, sekali berjanji kamu tepati.
Percaya kepada kekuatan sendiri
Teruskan perjuangan kamu.
Pertahankan rumah dan pekarangan kita sekalian.
Tentara kita jangan sekali-kali mengenal sifat dan perbuatan menyerah kepada siapapun juga yang akan menjajah dan menindas kita kembali.
Pegang teguh disiplin tentara lahir dan batin jasa pahlawan kita telah tertulis dalam buku sejarah Indonesia, kamu sekalian sebagai putera Indonesia wajib turut mengisi buku sejarah itu.
Amanat dalam rangka peresmian status kedudukan TRI bagian udara sejajar dengan TRI lainnya. Yogyakarta 25 Mei 1946.

Sanggup mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia, yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sampai titik darah yang penghabisan. Sanggup taat dan tunduk pada Pemerintah Negara Republik, yang menjalankan kewajibannya, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan mempertahankan kemerdekaannya sebulat-bulatnya. Sejengkal tanahpun tidak akan kita serahkan kepada lawan, tetapi akan kita pertahankan habis-habisan...................... Meskipun kita tidak gentar akan gertakan lawan itu, tetapi kitapun harus selalu siap sedia.
Amanat dihadapan presiden/panglima tertinggi APRI untuk mengikrarkan sumpah anggota pimpinan tentara. Yogyakarta 27 Mei 1945

Meskipun kamu mendapat latihan jasmani yang sehebat-hebatnya, tidak akan berguna jika kamu mempunyai sifat menyerah ! Kepandaian yang bagaimanapun tingginya, tidak ada gunanya jika orang itu mempunyai sifat menyerah ! Tentara akan hidup sampai akhir jaman, tentara akan timbul dan tenggelam bersama negara !

VIDEO JENDERAL BESAR SOEDIRMAN



" Bangsa yang besar adalah Bangsa yang menghargai para Pahlawannya ! "